Yang model seperti ini bila musim kemarau sejak beberapa tahun tarakhir ini banyak kita jumpai di Pati, karena dengan dalih menata kembali areal persawahan agar saat diolah untuk ditanami kembali menjadi subur, sehingga banyak yang membenarkan atau bahwa hal itu adalah sah-sah saja karena dilakukan di atas lahan persawahan milik para petani sendiri, atau dengan kata lain bahwa upaya tersebut bukanlah kegiatan penambangan galian C sebagaimana yang biasa dilakukan para pelakunya di Pati juga banyak jumlahnya. Akan tetapi, semisal pengolahan lahan sawah itu bukan berada di balik penambangan galian C, mengapa meterial yang didapat justru banyak digunakan untuk memenuhi kepentingan pemberi order yang saat ini memang membutuhkan tanah galian, mereka seolah-olah tidak memahami bahwa yang harus dilengkapi dengan izin eksploitasi bukan hanya penambangannya semata.
Di sisi lain, ke mana tanah galian penambangan tersebut diangkut/di bawa juga harus disertai izin, dan juga jika tanah hasil penambangan tersebut diolah untuk kepentingan apa pun harus dilengkapi izin, tapi yang terjadi di sini (sebut saja-Pati), penambangan tanah uruk maupun galian C lainnya berlangsung di mana-mana, dan kebanyakan memang tidak berizin sehingga namanya pun jelas liar sehingga yang menjadi pertanyaan, bila ”dump truck” pengangkutnya melintas di jalan poros desa atau jalan raya, maka bila terjadi kerusakan mereka akan bertanggung jawab. Karena bebasnya mengangkut barang galian seperti sekarang, maka penambangan batu putih dari Pegunungan Kendeng utara banyak yang dibawa ke Kudus, tanpa ada pengawasan dan pengendalian, sehingga yang namanya perusakan lingkungan pun semakin tanpa kendali mengingat yang namanya aturan hanyalah ”macan” kertas yang tak bisa berbuat apa-apa.
(Foto:SN/aed)