SAMIN-NEWS.com, Pati – AKHIR Tahun 2019 ini personel anggota legislatif di Pati menggagas sebuah peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang (seharusnya) Pengawasan bukan Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol atau sebuat lain untuk minuman keras (miras). Karena itu perda inisiatif ini Senin (23/12) pekan depan mulai ditarik ke dalam rapat Paripurna DPRD setempat dengan mengajak masyarakat melakukan dengar pendapat.
Pertanyaannya, sejauh mana tingkat keseriusan tindak lanjut dalam pelaksanaan perda itu karena jika tidak salah aturan tentang miras tersebut sudah ada, tapi dalam hal pengawasan dan pengendaliannya setiap pelanggaran yang terjadi, maka ranah hukum yang mengadilinya tetap menempatkan terdakwa atas pelanggaran yang dilakukan dengan status terdakwa melanggar tindak pidana ringan (tipiring). Dengan dekimikian, begitu perkara diputus oleh pihak pengadil di Pengadilan Negeri (PN) setempat, terdakwa hanya dijatuhi hukuman denda dan barang bukti disita untuk dimusnahkan.
Karena itu, bayar denda pun selesai perkara tanpa memberikan efek jera sehingga selang beberapa hari berikutnya yang bersangkutan sudah menggelar lagi dagangannya. Jika demikian, di mana letak dan keseriusan perda tersebut dalam pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol yang ternyata tidak bisa mencegah berlangsungnya peredaran miras tersebut.
Jika sekarang mau diulang lagi dalam perda yang baru akan dibahas dengan mendengarkan dulu pendapat masyarakat, maka pola pelaksanaan perda nanti dipastikan tak jauh berbeda atau setali tiga uang. Apalagi jika perda tersebut adalah hasil adopsi dari perda daerah lain hasil studi banding para anggota legislatif, maka ada hal-hal yang tidak cocok jika diterapkan di daerahnya ikut masuk draf dalam pasal-pasal perda yang baru akan dibahas itu.
Hal tersebut bisa dibaca dalam draf pasal tentang penjualan minuman beralkohol, jelas tidak mungkin di Pati ini kalau dibuka tempat-tempat penjualannya dengan jam yang dibatasi. Yakni mulai pukul 20.00 s/d 22.00 WIB, karena Pati bukan daerah wisata seperti Bali sehingga materi draf raperda seperti ini dalam penyusunannya tanpa melalui kajian yang komprehensif.
Sedangkan tanpa diatur adanya jam penjualan minuman beralkohol, penjualan miras di Pati sudah berlangsung dengan sembunyi-sembunyi selama 24 jam. Apalagi dengan diberikan jam kesempatan berjualan secara resmi tentu para penjualnya seperti mendapat izin resmi berjualan sepanjang waktu, karena dalam hal ini petugas pasti tidak akan menyisir tempat-tempat penjualan tersebut.
Dampak yang ditimbulkan pun sudah pasti, karena penjualan miras tanpa harus izin akan marak karena hal itu bisa dilakukan di mana-mana. Tidak hanya di tempat terbuka bagi yang resmi berizin, tapi yang lebih banyak penjualan miras tersebut akan berlangsung di tempat-tempat tersembunyi seperti di tanah kosong di balik rumoun bambu.
Sebab, sekali lagi Pati bukanlah daerah wisata yang memang membutuhkan fasilitas tempat minum bagi para wisatawannya. Karena itu jika memproduk aturan, janganlah hanya memperhatikan sisi kepentingan produsen dengan dalih karena mengantongi izin, tapi keselamatan masyarakat juga harus menjadi pertimbangan utama, mengingat miras dalam situasi dan kondisi apa pun dampaknya tetap negatif dari sisi kesehatan tubuh.
Di sisi dalam menyusun materi perda minuman beralkohol, hendaknya penggagas/pemprakarsa atau para ahlinya agar berani keluar dari kebiasaan untuk tidak hanya sekadar normatif. Maksudnya, dalam menyusun draf tentang jenis atau katagori minuman beralkohol dengan kandungan etanolnya sekian persen, dan yang boleh dijual dalam katagori tiga kelompok.
Masing-masing minuman beralkohol dengan kadar alkohol 5-10 persen, atau 14 hingga 19,5 persen meskipun banyak produk minuman beralkohol dengan kandungan alkohol di atas itu. Dengan demikian, maka dalam pencantuman jenis produk jangan hanya sekadar normatif melainkan harus disebutkan satu per satu jenis serta kandungan kadar alkohol serta nama jenis minumannya dan diproduksi oleh perusahaan apa, di mana.
Jika hanya normatif, ini minuman beralkohol dengan kandungan alkoholnya sekian persen sehingga harus diatur penjualannya, hal itu selamanya tak pernah akan bisa menyelesaikan persoalan minuman bermasalah sosial ini. Jangan tanggung-tanggung, sebut merek produknya jika ingin mencegah maraknya penyakit masyarakat.