H Jamari, salah seorang anggota Komisi D DPRD Pati yang harus ikut tampil dalam pementasan Ketoprak Praja Budaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati, 30 November mendatang dengan membesut cerita Mendut Boyong disutradarai Guru Warsito.(Foto:SN/dok-aed)
SAMIN-NEWS.COM APA PUN yang namanya kesenian itu universal, sehingga siapa saja bisa menggagas terwujudnya sebuah karya seni sesuai logika berpikir masing-masing. Apalagi jika berkait dengan seni pertunjuka n yang di dalamnya terkandung unsur dramaturgi yang sudah barang tentu tidak bisa abai terhadap alur cerita.
Akan tetapi, kata salah seorang anggota DPRD Pati, H Jamari yang dilibatkan dalam pementasan tersebut dalam cerita Mendut Boyong dengan sutradara Guru Warsito, dia merasakan masih ada hal menganjal. Sebab, peran yang harus dipercayakan oleh sutradara kepadanya adalah sebagai Ki Gedhe Jiwonolo ayah dari tokoh Joko Kemudo.
Sedangkan lawan mainnya juga sesama anggota Komisi D DPRD setempat, H Budiyono yang memerankan Ki Gedhe Rogowongso. Jika Ki Gedhe Jiwonolo adalah ayah dari Joko Kemudo, sebaliknya Ki Gedhe Rogowongso adalah ayah dari Roro Mendut yang diperankan (bukan) oleh Dr Anik Wuryaningrum, Kepala SMP 4 Pati, melainkan oleh Rinda personel dari jajaran Dinas Sosial Kabupaten Pati.
Antara kedua remaja yang terlibat dalam percintaan, Joko Kemudo akhirnya minta agar ayah dan ibunya, Nyai Jiwonolo juga diperankan anggota Komisi D DPRD setempat, Endah Sri Wahyuningati, diminta agar melamar gadis pujaanya, Roro Mendut. ”Sebenarnya putranya Joko Kemudo sudah diingatkan, bahwa pasti ditolak oleh Ki Gedhe Rogowongso karena perbedaan bahwa ayahnya itu orang miskin, dan sebaliknya Rogowongso itu orang kaya, dan sombongnya bukan main,”ujarnya.
Sutradara pembesut cerita Mendut Boyong, Guru Warsito tengah membeber alur cerita tersebut kepada para pemeran.(Foto:SN/aed)
Ternyata benar lamarannya ditolak oleh Ki Gedhe Rogowongso, sehingga Joko Kemudo kecewa dan bahkan ingin mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya. Sampai di sini, alur cerita tersebut masih pada tataran logika yang wajar, termasuk Ki Jiwonolo yang menyarankan agar putranya mempunyai kebenaran sebagai laki-laki.
Apalagi, jika tidak lari membawa kabur Roro Mendut, dan itu akhirnya pilihan yang harus dilakukan meski perbuatannya diketahui oleh Ki Gedhe Rogiwongsa, dan bahkan keributan itu juga diketahui Adipati Pati (disebutkan) Wasis Joyokusuma. Ki Gedhe Rogowongso kemudian membuat sayembara untuk kembalinya Roro Mendut, ternyata Adipati Pati juga tertarik mengikutinya dengan meminjam pusaka Ki Gedhe Rogowongso, Tombak Guntur Geni
Putri Ki Gedhe Rowongso, akhirnya berhasil diboyong ke Kadipaten Pati, dan Ki Gedhe Jiwonolo pun memastikan, putranya tak bakal menang lawan Adipati Wasis Joyokusumo. Logika alur cerita di sini dia sebagai pemeran Ki Gedhe Jiwonolo, pun bertanya, apa benar seorang Adipati yang selalu dihadapkan pada persoalan perang dan terus berperang, hanya urusan perempuan harus melawan anak kemarin sore dengan membawa tombak.
Jika Adipati harus membunuh pemuda itu, apa yang menjadi dasar alasan untuk melakukannya, meskipun oleh sutradara Joko Kemudo dibuat batal mati di tangan Sang Adipati. Ternyata sebagai ayahnya harus bertanya dan menyarankan putranya, jika masih cinta kepada Roro Mendut lebih baik berangkat ke Mataram dengan mengganti nama Pronocitro.
Pertanyaan, untuk apa semua itu harus dilakukan, alur cerita ini menurut dia semakin jauh lepas dari logika cerita itu sendiri. Maksudnya, jika Roro Mendut sudah diboyong ke Kadipaten Pati, apa benar Pronocitro haru pergi ke Mataram mencari gadis pujaannya ke sana, terus apa yang dicari akan ketemu kalau yang dicari itu masih berada di Pati.
Menurut logika kami sebagai pemeran Ki Gedhe Jiwonolo, seharusnya begitu gagal meminag Roro Mendut yang sudah diboyong ke Kadipaten Pati, diikuti dengan datangnya utusan dari Mataram, yaitu Tumenggung Wiroguno yang meminta kepada Adipati Wasis Joyokusomo, untuk membawa putri itu ke Mataram. Sebab, Mendut adalah puyri titipan yang pengasuhannya waktu itu diserahkan kepada Ki Gedhe Jiwonolo.
Ternyata hal itu tidak dilakukan oleh sutradara, dan bahkan membuat cerita melompat pada konteks alur kedatangan dua pemuda dari Madura, Kuda Sinanteran dan Kuda Panoleh, yaitui keponakan Patih Penjaringan yang harus menggoda Roro Mendut karena tertarik akan kecantikannya. Lagi-lagi, Adipati Pati ini harus memposisikan sebagai penguasa dan sekaligus malaikat pencabut nyawa.
Atas peristiwa seorang pemuda menggoda gadis, Adipati minta kepada Patih Penjaringan agar menghukum mati kedua pemuda itu. Benar-benar kesan dan pesan buruk yang ditangkap oleh logika penonton, bahwa seorang Adipati Pati Wasis Joyokusumati terhadap siapa saja, jika dianggap salah putusannya adalah harus dibunuh.
Bagi dia cerita tersebut benar-benar keluar jauh dari logika sebuah cerita, padahal sebenarnya sebuah tontonan itu bisa menjadi tuntunan. ”Terlepas cerita itu benar atau salah, memang dari sisi tontonan sebuah seni pertunjukan adalah sah-sah saja, tapi kami sebagai pemain juga sah untuk mempertanyakan hal tersebut,”kata Jamari.(Ki Samin)