Reformasi Pangan Jokowi Hanyalah ‘Suoro Angin, Angin Sing Ngeridu Ati’

DUA hari yang lalu dalam rapat kabinet terbatas penanganan covid-19, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mendengungkan reformasi kebijakan pangan. Dalam kesempatan tersebut, Jokowi menyebut daftar bahan pangan dan mengkritisinya. Pada akhir pernyataannya dia bilang bahwa ini saat yang tepat untuk mereformasi kebijakan pangan kita.

Informasi tersebut sekilas menggembirakan, akan tetapi berbeda dengan sudut pandang kacamata yang saya kenakan.Saya merasa cukup pesimistis dengan apa yang dilontarkan oleh Jokowi, bagaimana tidak? Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi janji kampanya Jokowi pada Pilpres 2014 lalu. Namun ketika ia menang, nyatanya tidak ada perubahan signifikan dalam sektor tersebut.

Produktivitas produksi pangan dalam negeri juga tidak ada peningkatan yang berarti selama ia menjabat, ditambah lagi dengan keputusan Jokowi untuk tidak memilih kembali Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.Padahal Bu Susi sudah terbukti mampu menjadikan laut Indonesia lebih berdaulat. Dan lagi, laut adalah salah satu sumber pangan yang cukup penting dan tidak bisa dikesampingkan.

Bukan hanya itu saja, selama 5 tahun memimpin, yang banyak kita saksikan justru berbagai lumbung pangan di Indonesia makin tergusur oleh kebijakan industri ekstraktif. Berbagai daerah yang sudah membuktikan diri menghasilkan banyak bahan pangan, malah dijadikan sentra pembangunan pabrik entah itu semen maupun tambang. Hajat hidup petani sebagai sokoguru kedaulatan pangan makin terpinggirkan.

Bahkan ditambah lagi oleh kebijakan Jokowi yang seolah mendorong adanya Omnibus Law yang jika kita kupas lebih dalam, ada banyak kebijakan yang justru makin mengancam sentra lumbung pangan dengan memberi tempat yang makin luas dan bebas untuk mengeksploitasi alam serta lingkungan hidup. Menarik bukan? Jadi, disini saya hanya menyampaian ketidak percayaan atau lebih santunnya adalah keraguan atas reformasi pangan yang didengungkan. Justru bisa jadi eksploitasi dan  kapitalisme akan lebih membabi buta pasca pandemi, hal tersebut dikarenakan tangan usil mereka yang berkepentingan sempat terjeda dengan adanya corona. Intinya, bagi saya reformasi pangan yang didengungkan presiden tidak lebih dari ‘Suoro angin, angin sing ngeridu ati” seperti lagu mas Didi…

Previous post Posko Terpadu Protokol Kesehatan di Terminal Cukup Representatif
Next post Yayasan Sejam Salurkan 500 Paket Sembako

Tinggalkan Balasan

Social profiles