Dua tokoh Gusdurian Pati Eddy Siswanto (Ong Tjwan Swie) dan Kiai Happy Irianto dan Dandim 0718 Pati, Letkol Arm Arief Darmawan saat hadir dalam lomba memasak kalangan perempuan terpinggirkan, di kompleks Lorong Indah (LI) Desa/Kecamatan Margorejo, Pati. Di sisi lain Eddy Siswanto membagokan beras kepada warga kurang mampu pada saat Sembahyang Arwah di Klenetng Hok Tik Bio Pati.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI-Bermula dari pernyataan Yenny Wahid kepada awak media, bahwa Keluarga Gus Dur mendukung Capres-Cawapres Jokowi-Amin, maka opini dan reaksi liar liar pun mencuat dan viral ke permukaan media sosial. Padahal dukung mendukung terlepas dari yang pro maupun kontra dalam kancah perpolitikan itu hal wajar karena hal itu bagian dari hak setiap individu.
Sebab, siapa warga bangsa di republik ini yang tidak tahu Gus sehingga apa yang disampaikan Yenny Wahid itu seolah-olah ancaman yang harus disikapi secara berlebihan. Kalau boleh meminjam pernyataan Gus Dur yang sampai sekarang tetap melekat dan mudah diingat dan ditirukan oleh masyarakat, ”Gitu aja kok repot.”
Karena itu, ketika hal itu dikaitkan dengan perbedaan antara yang dilakukan Yenny Wahid dan Alissa Wahid seorang dua tokoh di Pati, Eddy Siswanto dan Kiai Happy Irianto pun perlu mempertegas komitmennya. Sebab, mereka ini adalah pelaksana ajaran tentang pruralisme dari Gus Dur yang bergabung dalam Kelompok Gusdurian.
Dengan tegas keduanya menyatakan, bahwa Gusdurian yang kini dikelola oleh Alissa Wahid tetap akan pada posisi netral, karena memang tidak ambil bagian di dalam kancah arena peropolitikan. ”Karena itu perlu kami kutip apa yang disampaikan oleh Bu Alissa Wahid, bahwa Bu Yenny Wahid itu adalah pengikut Gus Dur melalui jalur Gerakan Politik Kader Gus Dur,”ujarnya.
Sedangkan Alissa Wahid yang sudah berang tentu pengikut Gus Dur, masih kata dia, memilih bekerja melalui Gerakan Sosial. Sebenarnya hanya itu bedanya, dan sudah barang tentu lebih mudah membenarkan karena Gerakan Sosial ini terwadahi dalam Gusdurian yang di daerah satu dan lainnya berbeda.
Maksudnya, gerakan sosial yang dilakukan antara daerah satu dan lainnya tidak sama. Seperti di Pati, misalnya, gerakan sosialnya lebih menaruh perhatian kepada kaum tidak mampu yang secara periodik diberikan bantuan terutama dalam bentuk pangan, sehingga kegiatan membagi-bagikan makanan pembatal puasa setiap puasa Ramadan pun mebjadi agenda rutin.
Selain itu juga pengamalan ajaran Gus Dur tentang pruralisme pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Gusdurian, sehingga mengharuskan bahwa dalam menyikapi berbedaan bukanlah untuk dipermasalahankan, melainkan harus saling menghargai. Dengan demikian, munculah penyikapan Tunjukkan kebaikanmu orang tidak akan tanya apa agamamu.
Berdasarkan hal-hal dan penyikapan seperti itu, maka sekali lagi jaringan seluruh Gusdurian khususnya Gusdurian Pati tentu tidak akan berpolitik praktis. ”Kembali kami kutipkan pernyataan Bu Alissa Wahid, bahwa pesan politik keluarga Gus Dur adalah politik tentang kemanusian,” katanya.(sn)