Eddy Siswanto Koordinator Kelompok Gusdurian Pati.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM MELIHAT fakta sejarah peran dan keterlibatan para tokoh suku Tionghoa dalam melakukan perlawanan terhadap VOC, hal itu bukanlah terjadi secara kebetulan melainkan bagian dari tuntutan. Yakni, di mana bumi dipijak di situlah langit harus dijunjung karena penyikapan seperti itu bukanlah tanpa risiko, karena kepahitan sejarah juga dialami warga suku bangsa ini pada abad ke XVII atau sekitar Tahun 1680.
Sebagai suku yang memang ditakdirkan pandai berdagang, maka pusat-pusat perdagangan utamanya di Batavia hampir seluruhnya berhasil dikuasai, sehingga VOC pun dibuat kalang kabut dan terancam gulung tikar. Apalagi perdagangan gula yang kala itu menjadi andalan sebagai produksi dari sejumlah pabrik gula (PG) yang didirikan Belanda.
Sebab, suku bangsa Tionghoa mampu menguasai sepenuhnya sehingga bangsa kolonial itu pun melakukan rekayasa karena harus menghadapi para pekerja yang semuanya adalah warga pribumi. Dengan alasan untuk dipindahkan bekerja ke lokasi perkebunan tebu yang lain, sebenarnya hal itu adalah sebuah tipu muslihat karena ribuan pekerja yang diangkut dengan kapal tersebut ternyata dibantai dengan cara ditenggelamkan ke laut.
Dengan meninggalnya para pekerja pribumi itu, maka sebagai alasan bahwa yang melakukan pemusnahan etnis pribumi itu kolonial. Sebab, begitu mengetahui kejadian tersebut maka suku Tionghoa pun bergerak bersama melakukan pencegatan kapal pengangkut pekerja pribumi, dan melakukan penyerangan terhadap kapal tersebut untuk menyelamatkan para pekerja yang masih beruntung belum ikut terbantai.
Akan tetapi apa kata nasib, peristiwa tersebut faktanya justru diputarbalikkan bahwa yang melakukan pembantaian para pekerja pribumi adalah etnis Tionghoa. Dengan demikian, taktik adu domba yang dilakukan bangsa kolonial pun cukup berhasil karena propaganda besar-besaran, sehingga sejak peristiwa tersebut bibit-bibit permusuhan antara etnis pribumi dan Tionghoa pun mulai tumbuh dan menjadi racun secara turun temurun.
Akibat peristiwa itu rasa permusuhan dan dendam yang terus berkobar, ternyata sulit dipadamkan. Padahal, etnis Tionghoa yang memang terlibat dalam setiap pergerakan membela Nusantara ini dari cengkeraman bangsa kolonial, ternyata tidak bisa menetralisir dampak buruk dari politik adu domba tersebut, sehingga etnis Tionghoa oleh pribumi justru juga dianggap sebagai penjajah.
Karena itu, kesenjangan antarkedua etnis ini pun terjadi dengan munculnya sebutan pri dan nonpri sehingga memunculkan pula jurang pemisah semakin melebar, meskipun negeri Nusantara yang sudah merdeka dengan nama Indonesia. Apalagi, kondisi tersebut kembali diperburuk dengan peristiwa 1965, maka cap sebagai komunis pun melekat di kalangan etnis ini.
Menghadapi tekanan politik yang begitu kerasnya, mengharuskan ada pula sebagian besar yang memilih kembali ke tanah leluhur. Akan tetapi upaya itu justru ditolak, karena untuk menjadi warga negara di negeri leluhur dianggap sudah tidak murni lagi, sehingga semakin terpuruklah nasib etnis di negeri yang sebenarnya sudah menjadi tumpah darah mereka.
Kendati dengan keterpurukan tersebut, mereka akhirnya tetap memilih untuk kembali ke negeri Nusantara sebagaimana kedatangannya pernah dilakukan oleh para leluhurnya dengan status sebagai warga negara asing (WNA). Sedangkan syarat untuk bisa menjadi WNI, maka nama-nama serta marga yang dimiliki harus ditanggalkan dan berganti nama sebagai warga negara Republik Indonesia (bersambung).