Eddy Siswanto Menyarikan Kembali Sejarah Suku Bangsa Tionghoa di Indoensia (lanjutan)

Eddy Siswanto Ketua Umum Kelenteng se-Kabupaten Pati.(Foto:SN/aed)


BUKTI peninggalan budaya Laksamana Cheng Ho berupa bangunan Kelenteng Sam Po Kong di Semarang yang cukup megah, seharusnya menjadi acuan dan pijakan dalam upaya menghindari polemik, bahwa bangunan tersebut sebenarnya sebuah masjid suku bangsa Tionghoa yang muslim. Sehingga masih sering terjadi kesalahpahaman bahwa kelenteng itu sebuah tempat ibadah, meskipun sebenarnya bangunan itu budaya peninggalan para leluhur etnis tersebut.
Apalagi, sejak masa pemerintahan orde baru di mana 1965 Presiden Soeharto mutlak berkuasa bangunan budaya tersebut dilarang untuk kegiatan ibadah sehingga harus diubah fungsinya menjadi tempat ibadah pemeluk agama Budha. Padahal umat muda nama tempat ibadahnya adalah vihara, sehingga kelenteng itu bangunan budaya.
Dengan demikian di dalamnya sama sekali tidak terdapat fasilitas tempat untuk ritual keagamaan kecuali hanya altar tempat patung dewa-dewa yang tidak disembah, karena itu bagian dari budaya  leluhurnya. Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan budaya masyarakat Jawa yang masih kental dengan penyediaan sesaji, termasuk tradisi budaya menyelenggarakan acara kenduri.
Oleh karenanya, masyarakat suku Tionghoa sampai sekarang masih menghoramati budaya peninggalan para leluhurnya yang harus tetap diuri-uri. Seperti tradisi ritual Sembayang Arwah atau sebutan lain dari ulambana yang tiap tahun selalu dilakukan dengan maksud mendoakan seluruh arwah para leluhur dari kalangan etnis apa pun tanpa terkecuali.
Acara tradisi ritual tersebut, pekan depan atau tepatnya Rabu (29/8)  akan diselenggarakan di Kelenteng Hok Tik Bio, di kompleks Pecinan. Akan tetapi sekali lagi, bahwa hal itu bukanlah ritual agama karena tidak berbeda jauh dalam acara penyambutan Tahun Baru Imlek penyelenggaraannya juga dipusatkan di kelenteng tersebut.
Karena itu sekali lagi, bahwa bangunan budaya kelenteng bukanlah sebagai tempat ibadah sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi, hanya karena salah dalam memahami antara budaya dan agama. Sehingga dampak permasalahan cukup panjang, karena pada masa pemerintahan orde baru berkuasa semua kegiatan di kelenteng dalam menguri-uri  budaya tradisi peninggalan leluhur suku bangsa ini dilarang.
Demikian pula, perdebatan yang selama ini tak pernah putus adalah bahwa delapan dari 9 wali dengan penyebutan nama atau keturunan etnis Tionghoa, seperti Sunan Ampel Raden Ali Rahmatullah adalah Bong Swie Hoo maupun Kanjeng Sunan Kalijaga Raden Sahid dengan nama Tionghoa Gan Si Chang. Seharusnya penyikapan terhadap hal itu, bahwa mereka adalah waliullah sebagai penyebar dan pengajar agama Islam sebagai agama yang rahmatanlilalamin.

Apalagi yang namanya para nabi dan para wali, adalah orang-orang suci yang diberkahi atas kuasa-Nya, sehingga dari mana asalnya dan siapa pun namanya tetap sebagai junjungan dan panutan umatnya. Jika hal tersebut selalu menjadi pokok perdebatan, hanya alasan untuk mencari pembenaran sejarah biarlah para sejarawan menuliskannya sesuai kemampuan daya nalar, referensi, serta kekuatan sumber yang dimiliki.
Terlepas dari hal tersebut, sejarah telah mencatatkan bahwa etnis Tionghoa dari masa-masa ke masa setelah ekspidi Laksamana Cheng Ho ke Nusantara tetap menjadi warna hitam-putih yang menjadi bagian dari warna sejarah di Bumi Nusantara. Dalam perlawanan terhadap VOC sebut ada nama Oei Ing Kiat  Bupati Lasem atau Tumenggung Widyaningrat dan Raden Panji Margono, serta Tan Ki Wi.
Perlawanan tersebut menyebar ke daerah Pati, Kudus hingga Semarang. Selain itu ada pula nama Tan Sin Kho. tokoh pimpinan lokal yang namanya cukup terkenal di Lasem hingga Jepara bersama pasukan Mataram dan Lasjkar Tionghoa di Batavia ikut menggempur benteng VOC. Bersama Bupati Grobogan Martopuri dan Bupati Mangoen Oneng turut menyerbu untuk menguasai Kudus (bersambung) 

Previous post Belum Ditemukan Indikasi Daging dan Jeroan Hewan Kurban Terkena Penyakit
Next post

Tinggalkan Balasan

Social profiles