RENCANA pencabutan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah sebuah bukti ketidakpedulian pemerintah kepada persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Rancangan yang sudah diajukan sejak 2007 tersebut semakin tidak jelas kepastiannya.
Secara prinsip RUU PKS jelas sangat penting, karena hal tersebut mengandung perlindungan perempuan yang tidak diatur oleh kitab undang-undang hukum pidana. Dalam rancangan tersebut memuat dan mengatur mengatur pidana atas berbagai jenis kekerasan seperti: perbudakan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk mengenai pencegahaan kekerasan seksual. Pemerintah seharusnya sadar betul bahwa membatalkan RUU tersebut sama saja dengan menjatuhkan tangga kepada korban kekerasan seksual.
Padahal akibat perlindungan hukum yang lemah, data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan setiap tahun rata-rata hanya 10 persen kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Setengah dari itu berlanjut hingga pengadilan. Tapi cuma sekitar 3 persen yang pelakunya divonis bersalah. Tak heran kekerasan seksual meningkat rata-rata 13 persen setiap tahun.
Sementara itu, Komisi VII DPR yang membidangi agama, sosial dan penanggulangan bencana menybut bahwa pembahasan RUU PKS harus ditunda karena masih menimbulkan banyak perdebatan. Pernyataan tersebut jelas sangat mengada-ada, bagaimana tidak? Semua RUU memang harus dievaluasi dan diperdebatkan oleh Dewan maupun publik sebelum disyahkan. Aneh kalau yang ini dianggap menyulitkan sementara yang lain malah bisa selesai dalam hitungan hari.
Hal seperti ini tentu sangat ironi, karena korban kekerasan seksual adalah juga warga negara yang wajib dilindungi. Karena itu DPR justru harus segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, bukan membatalkan pembahasannya. Mbuk ya yang niat kalau jadi wakil rakyat pak !!