Mainkan Data Taruhkan Nyawa

PERBEDAAN angka kematian akibat pandemi corona yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tak seharusnya dibiarkan begitu saja. Menurut Kementerian Kesehatan, sampai 3 Juli lalu, ada 60.695 pasien positif, dengan jumlah korban meninggal sebanyak 3.036 jiwa. Angka inilah yang setiap hari diumumkan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Achmad Yurianto, yang juga juru bicara pemerintah untuk masalah Covid-19.

Pemerintah selama ini tidak pernah secara terang menyampaikan bahwa Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 memiliki data yang berbeda dengan Kementerian Kesehatan. Berdasarkan pangkalan data tersebut, per 3 Juli kemarin jumlah pasien positif sudah mencapai 62.050 orang, dengan jumlah korban meninggal 13.885 jiwa. Dari Jumlah tersebut, berarti Indonesia merupakan negara dengan angka kematian tertinggi di Asia Tenggara.

Standar yang digunakan oleh Gugus Tugas dalam penghitungan berdasarkan standar dari WHO, yakni menghitung semua orang yang meninggal akibat gejala klinis yang mirip dengan kasus corona. Di Indonesia, kriteria ini meliputi orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan. Sedangkan Kemenkes berpegang dengan standar dan caranya sendiri, yakni angka kematian dihitung berdasarkan jumlah pasien yang meninggal setelah dites positif corona. Metode ini jelas berisiko karena tak semua orang sempat dites sebelum kondisi kesehatannya memburuk.

Imbas dari perbedaan data tersebut adalah pola pengendalian penularan covid-19 yang tidak akurat. Para pengambil kebijakan di daerah dan warga kebanyakan bisa mendapat gambaran yang keliru mengenai kondisi lingkungannya. Sistem buka-tutup wilayah serta pembatasan sosial berskala besar juga bisa berantakan yang nantinya pastilah angka kematian akibat pagebluk ini bisa terus bertambah.

Jika praktik angka manipulatif angka tersebut terus dibiarkan, hal serupa tentu juga akan mempengaruhi pemangku kebijakan dimasing-masing daerah yang cenderung suka dengan data semu. Seperti juga yang terjadi di Kabupaten Pati, pemerintah daerah tidak pernah membuka secara terang angka persebaran covid. Data yang dibeber pun cenderung abal-abal dan tidak bisa dipertanggung jawabkan.

Semua pemangku kebijakan seharusnya lebih ‘Bijak’ dalam hal ini, bermain data dalam hal ini sama saja memainkan hidup dan mati seseorang. Tanpa adanya transaparansi data, semua pasti akan berujung petaka.

Previous post Sistem Belajar Tatap Muka Dilakukan Bergilir Urut Kacang
Next post Sedekah Bumi Penghuni LI di Tengah Situasi Pandemi

Tinggalkan Balasan

Social profiles