Pemalsuan Sertifikat Pelaut Sebagai Bentuk Perbudakan Modern

BELUM lama ini Kepolisian Daerah Metro Jaya telah melakukan penangkapan 11 tersangka pemalsuan sertifikat pelaut. Modus yang digunakan pun tergolong canggih, yakni dengan meretas website milik Kementerian Perhubungan. Kasus ini sendiri terungkap dari pengembangan perkara tindak pidana perdagangan orang yang diawali peristiwa meloncatnya dua anak buah kapal (ABK) asal Indonesia dari kapal Lu Qing Yuan Yu ke laut di perairan Selat Malaka.

Keduanya memilih melompat setelah tidak digaji dan mendapatkan perlakuan tak manusiawi di kapal berbendera China tersebut.

Pemalsuan dokumen tersebut dilakukan sebagai salah satu metode perdagangan manusia untuk mempermudah korban untuk dipekerjakan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat, selama 2015 hingga Juli 2019, ada 122 korban perdagangan manusia yang dibekali dokumen palsu.

Rata-rata para korban diberi janji akan dipekerjakan secara legal, gaji yang tinggi, dan majikan yang baik. Namun kenyataan justru berbanding terbalik, mereka mendapatkan perlakuan buruk, tidak digaji bahkan terjerat hutang.

Hal seperti ini jelas bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk perdagangan manusia modern. Sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang merenggut harkat dan martabat manusia. Faktor-faktor yang berkontribusi atas terjadinya perdagangan manusia cukup beragam dan kompleks. Di antaranya adalah pembangunan yang tak menyejahterakan, hak rakyat atas pekerjaan yang terabaikan, politik gender yang timpang, kemiskinan, lemahnya proses hukum, serta pelayanan publik dan sistem ketenagakerjaan yang korup.

Dalam hal ini, pemerintah harus fokus untuk menyelesaikan permasalahan yang cukup pelik ini. Memerangi perbudakan modern seperti ini memang bukanlah hal yang sederhana mengingat kompleksnya permasalahan yang terjadi.

Previous post Pasien Covid-19 Asal Sambiroto Dinyatakan Sembuh, Sekarang Telah Bekerja
Next post Penjualan Hewan Kurban Belum Maksimal

Tinggalkan Balasan

Social profiles