SAAT ini Indonesia telah dianggap merdeka sejak tujuh puluh lima tahun yang lalu. Pasca kemerdekaan, Indonesia bertransformasi menjadi negara yang berdaulat dan mandiri secara ekonomi, politik dan ideologi sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Soekarno.
Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah kita memang sudah benar-benar merdeka dan terbebas dari penjajahan dalam segala bentuk dan aspek di masa sekarang ini ?
Kurang lebih tiga setengah abad lamanya kita dijajah oleh bangsa belanda dan mengambil kekayaan baik sumber daya alam melalui perbudakan ataupun dalam bentuk yang lain seperti kebudayaan. Selain itu, mereka juga berhasil membangun wacana kebenaran secara ideologis untuk menjastifikasi dan menghancurkan nilai-nilai kultural setempat.
Meskipun secara fisik Indonesia telah terbebas dari belenggu penjajahan, namun hal tersebut tak lantas membuat kita benar-benar terbebas dari penindasan. Hanya saja bentuk penjajahan yang diterapkan telah berbeda dengan yang ada di masa lampau.
Jika dahulu penjajahan dilakukan dengan cara penaklukan dan perampasan sumber daya alam, di era modern seperti sekarang ini penjajahan bertransformasi dalam bentuk yang lain. Seperti penjajahan dalam bentuk penetrasi kebudayaan, ekonomi dan pemikiran yang cenderung tak kasat mata.
Seperti beberapa teori pakar yang menyebut bahwa bentuk penjajahan dunia barat terhadap timur dialamatkan pada wacana globalisasi atau neo-kapiltasime dan internasiolasasi yang lebih samar namun dampak yang ditimbulkan lebih dahsyat dari kolonialisme klasik.
Globaliasasi mislanya, dalam beberapa kesempatan selalu dituding sebagai langkah untuk menciptakan ketergantungan secara ekonomi kepada barat. Namun sejatinya, globalisasi juga sangat berfokus pada penetrasi dan infiltrasi budaya barat terhadap timur.
Oleh karena itu, kita harus melihat secara kritis bahwa kolonialisasi belum berakhir. Dalam tulisan yang berjudul On Some Aspect of the Historiography of Colonial India, sejarahwan India, Guha, menjelaskan bahwa penindasan tidak semata-mata dilakukan oleh kelompok “luar” saja (bangsa penjajah), namun juga kelompok “dalam” (orang pribumi).
Penindasan kelompok “Dalam” seperti ini tidak terlepas dari wacana yang dikonstruksikan oleh bangsa penjajah yang kemudian diadopsi masyarakat lokal untuk menindas kelompoknya sendiri demi kepentingan pribadi.
Menjelang momen 17 Agustus yang selalu diperingati sebagai Hari Kemerdekaan, sudah seharusnya mampu menjadi refleksi bagi bangsa Indonesia untuk menyadari berbagai bentuk penjajahan yang terstruktur dan tak kasat mata. Angka 75 tahun sudah seharusnya menjadi sebuah capaian dan trigger menjadi negara dan bangsa yang lebih baik.