Budaya Lamaran yang Menjunjung Tinggi Rasa Gengsi

Membeli sebuah gengsi dalam melangsungkan pernikahan resmi tidak hanya cukup mempelai berdua mengikat janji di depan penghulu tapi juga disyaratkan (tidak tertulis) bagi mempelai laki-laki, agar bisa menunjukan kemampuan dan tanggung jawabnya awal terhadap calon istri agar diketahui keluarganya, maka harus diwujudkan dalam bentuk apa yang disebut meminang atau melamar. Jika di pedesaan pada masa lalu, lamaran itu diantar bersamaan menjelang  saatnya temu pengantin pada siang hari  sehingga berbagai makanan, utamanya jadah (gemblong) dipikul dalam ”jondang” berjalan beriringan dengan ”tukon” berupa seekor kerbau jantan, dan sudah berang tentu untuk lamaran berupa perhiasan maupun pakaian perempuan itu sudah diantar sebelumnya.

Akan tetapi di pedesaaan sekarang lamaran bersamaan dengan temunya pengantin diantar dengan kendaraan roda empat bak terbuka juga berisi makanan, karena jaraknya tempat tinggal mempelai berdua bisa berjauhan tidak cukup hanya tetangga desa atau kampung, tapi bisa juga tetangga kecamatan maupun tetangga kabupaten. Dalam kendaraan bak terbuka lebih dari satu itulah biasanya memuat aneka barang untuk disampaikan kepada pihak calon pengantin perempuan, utamanya adalah sepeda motor, berikutnya seperangkat tempat tidur, meja rias, lemari, bahkan kadang-kadang juga meja kursi, tergantung kesenangan dalam unjuk kebolehan oleh pihak laki-laki, dan yang pasti berbagai bentuk hantaran berupa makanan pun tak ketinggalan, sehingga budaya seperti terlihat dalam gambar tersebut sampai sekarang masih ada di tengah-tengah kita.

(Foto:Supadmo Wardoyo – Gembong)

 

Previous post E-Koran Samin News Edisi 13 Agustus 2020
Next post Galian Pipa Air Minum di Suwaduk Murni Proyek PDAM

Tinggalkan Balasan

Social profiles