RUU Cipta Kerja Sebagai Bukti Kemunduran Demokrasi

BELAKANGAN pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kembali memanas. Ia kembali hadir memperkeruh suasana dan menjadi headline disejumlah media arus utama, serta membanjiri linimasa media sosial. RUU kontroversial tersebut sejatinya adalah bentuk reflektif kemunduran demokrasi bagi bangsa Indonesia.

RUU tersebut jelas bermasalah mulai dari proses penyusunannya yang tidak partisipatif, melanggar asas hukum dan berpotensi memperkokoh deretan pelanggaran HAM. Padahal seharusnya pembentukan peraturan perundang-undangan mesti berbasis pada asas keterbukaan sesuai dengan asal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011 tentang “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”.

Selain itu, RUU Cipta Kerja akan membutuhkan setidaknya 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga menilai banyaknya peraturan pelaksana yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif ini berpotensi memicu terjadinya penyelewengan kekuasaan.

“Dari catatan yang kami dapatkan, pembentukan 516 peraturan delegasi ini terdiri atas 493 peraturan pemerintah, 19 peraturan presiden, dan 4 peraturan daerah. Jadi bisa dibayangkan begitu banyaknya peraturan yang nanti akan dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini di bawah presiden. Jadi, kewenangan kekuasaan presiden akan tinggi sekali,” ungkapnya.

Bahkan Komnas HAM RI juga merekomendasikan agar pembahasan RUU Cipta Kerja segera dihentikan. Menurutnya, perampasan hak dan pelanggaran HAM akan sangat rawan jika pembahasan terus dilanjutkan.

RUU Cipta Kerja juga disebut sebagai kemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Hal ini terkait dengan isi RUU yang membuka seluas-luasnya praktik perjanjian kerja kontrak atau kerja waktu tertentu (PKWT), kemudahan dalam proses PHK, penurunan standar upah dan cuti, dan kemunduran dalam perlindungan hak untuk berserikat dan berorganisasi.

Sebenarnya jika kita mau memahami isi RUU tersebut, jelas banyak sekali poin yang tidak sesuai dan sangat merugikan masyarakat. Jadi sebaiknya memang dihentikan saja, tidak perlu lagi ada upaya-upaya konyol untuk mengkampayekan dukungan kepada RUU bermasalah tersebut. Indonesia itu sudah merdeka lho Pak !

Previous post Urat Nadi Perekonomian Warga yang Seharusnya Ditangani Secepatnya
Next post Hasil Swab Test di Kecamatan Jaken Semua Negatif

Tinggalkan Balasan

Social profiles