Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Inang Winarso.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI – Siapa pun jangan coba-coba berupaya menghapus pelacuran di Indonesia jika sama sekali tidak memahami sejarah munculnya praktik pelacuran, karena berapa besar biaya untuk keperluan itu hanyalah sebuah kerja yang sia-sia. Bagaimana orang mau melakukan sesuatu, tapi tidak pernah mengetahui akar permasalahan sesuatu itu.
Untuk mengetahui dan memahami munculnya praktik pelacuran, kata Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia, Inang Winarso, pihaknya sudah mencoba dan melaksanakan penelitian teramat panjang. Objek sasaran penelitian tetsebut tak lain di sepanjang ruas jalan Daendels dari Anyer (Jawa Barat) hingga Panarukan, Jawa Timur.
Sebab, katanya lebih lanjut, sumber munculnya praktik pelacuran ternyata berawal pada masa kolonial, ketika Daendels harus membangun akses ruas jalan sepanjang 1.000 kilometer. Saat itulah mandor-mandor pekerjaan ruas jalan tersebut pada jam istirahat di sore dan malam hari dengan paksa dan bahkan disertai pula kekerasan, untuk dikirim perempuan sebagai penghibur.
Dampak dari kondisi tersebut sudah barang tentu sering terjadi pemaksaan kehendak para mandor, dan bahkan juga kekerasan seksual terhadap para perempuan yang didatangkan di lokasi proyek. Karena itu, jika ada pihak yang menumpukan kesalahan munculnya praktik pelacuran tersebut datang dari pihak perempuan, jelas sama sekali tidak benar.
Dengan demikian, untuk menguarai permasalahan itu tidak bisa jika hanya menempatkan objek kesalahan tersebut kepada perempuan yang memilih menjadi pelacur atau terpaksa menjadi pelacur. ”Pertanyaannya, mengapa pelacuran selalu menarik minat para lelaki sehingga menimbulkan permasalahan sosial di masyarakat, faktornya tak lain karena banyak kaum lelaki yang berminat sebagai konsumennya,”ujarnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama ini, masih kata dia, lokasi yang menjadi pusat pelacuran di kota-kota besar seperti di Bandung yang dikenal dengan Saritem letaknya dekat dengan pusat alat transportasi, yaitu stasiun kereta api. Sedangkan Saritem sebenarnya tak lain nama seorang perempuan, asal Jombang, Jawa Timur.
Demikian pula untuk kompleks pelacuran Pasar Kembang (Sarkem) di tengah-tengah Kota Yogyakarta juga berada di sekitar Stasiun Tugu. Karena itu, penutupan kompleks pelacuran terbesar di Surabaya, Gang Dolli, meskipun menelan biaya miliaran rupiah, hal itu bukan sebuah keberhasilan tapi hanya memindahkan permasalahan tersebut ke daerah lain.
Di sisi lain, Inang Winarso yang juga pendamping penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Jawa Tengah dari Dirjen Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan juga menyinggung pernah maraknya praktik pelacuran ibu rumah tangga di Dukuhseti, Pati beberapa tahun lalu. Sebab, permasalahan itu mendunia dan mendiskriditkan nama baik daerah ini.
Padahal masa itu daerah tersebut tentu jauh dari alat transportasi KA, sehingga upaya untuk mengembalikan nama Pati yang tercoreng dengan predikat tersebut harus diikuti dengan penulisan sejarah tentang latar belakangnya. Salah satu di antaranya, apakah kawasan pantai utara Pulau Jawa tersebut pernah menjadi pusat pendaratan bangsa asing, seperti masih adanya peninggalan sejarah, yaitu Benteng Portugis di Jepara.
Menjawab pertanyaan, Inang Winarso menambahkan, upaya menghapus praktik pelacuran yang paling ampuh sekarang ini tak lain, pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru, di mana yang harus dijerat hukum atas terjadinya praktik seperti itu adalah lelaki sebagai konsumennya. ”Sebab, selama ini hukum tidak pernah menjerat para lelaki sebagai konsumen dalam praktik pelacuran tersebut.”(sn)