Pendekatan Sains dan Spiritual di Masa Pandemi

BEBERAPA waktu yang lalu, tepatnya Sabtu, (22/8/2020) Kementerian Agama atas rekomendasi dari Forum Pimpinan PTKIN memberikan penghargaan kepada provinsi Jawa Timur atas kerja kerasnya dalam menangani pandemi covid-19 melalui pendekatan sains dan spritual.

Pendekatan tersebut dilakukan melalui Sholawat Li Khomsatun yang dilatunkan Gubernur Jawa Timur, Khofifah, melalui rekaman video berdurasi dua menit. Tujuannya adalah agar masyarakat lebih memahami tentang pentingnya kesehatan rohani di tengah kondisi wabah.

Terlepas dari banyaknya pro-kontra yang mengiringi penghargaan tersebut, dalam narasi sejarah kesehatan Indonesia, pendekatan kesehatan melalui sains dan spiritual bukanlah hal baru dan hanya dilakukan oleh Provinsi Jawa Timur saja.

Alasannya tentu saja untuk membantu usaha pemerintah dalam menyebarkan faham kesehatan modern di tengah masyarakat yang masih sangat menjunjung tinggi adat dan spritualisme. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia cendrung akan mudah “Disentuh” melalui hal-hal keagamaan, termasuk dalam hal kesehatan modern.

Sejarawan sejarah kesehatan, Gani Ahmad Jaelani, pernah membahas hal ini dalam tulisan “Islam dan Persoalan Higiene di Hindia-Belanda” (2017) yang diterbitkan oleh Jurnal Sejarah. Menurutnya, dalam kongres internasional tentang higienitas dan demografi pada tahun 1883, terdapat seorang dokter militer Belanda untuk wilayah Hindia Timur yang menyampaikan perihal pemanfaatan Islam sebagai kampanye higienitas di kalangan masyarakat Jawa, Sunda dan Madura.

Dalam narasi tulisan tersebut lebih lanjut mengatakan bahwa penting untuk menggandeng penduduk yang memiliki pengaruh kuat, seperti pemuka agama, untuk meminimalisir perlawanan akan pemahaman tentang hal tersebut.

Ia sengaja mempelajari Islam agar memudahkan langkahnya dalam mengkampanyekan kebersihan tanpa adanya gesekan dengan kepercayaan yang sudah dianut masyarakat sebelumnya.

Selain itu, Pendekatan Sains dan Spiritual juga dilakukan di Cirebon ketika terjadi modernisasi perkotaan. Imas Emalia dalam disertasinya Derajat Kesehatan Masyarakat Pribumi di Kota Cirebon, 1906-1940: Modernisasi Kota dan Kesehatan (2019) menuliskan bahwa cara hidup bersih dan sehat pada masyarakat pribumi Kota Cirebon tidak terlepas dari praktik kehidupan yang diajarkan dan dilakukan oleh para kyai dan sultan.

Dengan demikian berarti, dalam hal mengadopsi ilmu kesehatan modern terkhusus dalam penanganan covid-19 di Indonesia pun tidak bisa lepas dari budaya dan tradisi pribumi, perlu adanya penyesuaian di sana-sini agar semua upaya yang dilakukan tidak menimbulkan gejolak dan gesekan di masyarakat. Hmm, terkadang ilmu mblungkon memang diperlukan…

Previous post Pelapisan Material Beskos Lapangan Rumput Stadion Joyokusumo Terus Dimaksimalkan
Next post Topeng Monyet dari Waktu ke Waktu

Tinggalkan Balasan

Social profiles