Mengungkap Peradaban Usang Pati Tempo Dulu (lanjutan)

JIKA nama Tondonegoro itu tidak ada tapi diada-adakan dalam cerita tutur atau pun cerita babad, ini permasalahan yang banyak kendala untuk mengurainya, sehingga semua lagi-lagi akan terjerat dalam pertanyaan, ”Ini sebenarnya yang mempunyai kepentingan itu siapa?” Sehingga penulisnya yang bertugas menulis secara hitam putih, atau apa adanya sengaja menulis dengan warna abu-abu.

Dengan demikian, tegasnya kita bisa menyimpulkan peradaban Pati tempo dulu akan menjadi hal paling usang yang jauh dari fakta kebenaran. Apalagi, sampai sekarang belum pernah ada yang tergerak untuk menelisik sebagaimana apa adanya, tanpa harus diikuti dengan embel-embel kepentingan baik pada masa itu atau masa sekarang.

Karena itu, jika acuannya adalah masa dengan sebutan tempo dulu, paling tidak semua harus diletakkan secara proporsional. Maksudnya, ambillah bagan untuk memposisikan bahwa Pati itu ada pada masa pemerintahan apa dan siapa, apa benar Pati sudah ada sejak peradaban masa Kerajaan Mojopahit, sehingga harus ada kesepakatan dan kesepahaman dalam memulai penulisannya.

Misalnya, tetap pilihan harus dimulai pada masa Kerajaan Mojopahit, apakah cukup dengan penggunaan referensi cerita babad atau cerita tutur tentang Kadipaten Paranggaruda dan Carangsoko. Kemudian memunculkan tokoh seperti Kembang Joyo, dan Dalang Soponyono, sehingga nama Kemiri sebagai pusat pemerintahannya tetap akan selalu melekat.

Selama situs Genuk Kemiri, bisa memberikan catatan tentang adanya pusat pemerintahan tersebut hal itu tetap sah-sah saja. Dengan demikian, argumen atau catatan lain pasti akan bisa terpatahkan karena kemunculan tokoh di Kemiri, seperti yang menjadi cikal; bakal nama Desa Sarirejo, dipastikan bukanlah pada masa Kembang Joyo.

Kendati cerita tutur menyebutkan, Menak Josari disebut-sebut sebagai putra Adipati Paranggaruda, tapi juga terbuka pendapat bahwa Josari adalah Ki Ageng Kemiri. Hal itu bisa dipastikan wilayah ini ada pada pascakekuasaan Demak, karena pada masa Sultan Trengono sosok figur seperti Kenduruan yang disebut-sebut sebagai kerabat Demak  pernah mewarnai pemerintahan kasultanan tersebut.

Apalagi, jika catatan tahun dimulai pertengahan abad XV berarti angka itu bisa merujuk pada 1511 atau sesudahnya, ketika Ratu Kalinyamat ditetapkan sebagai Adipati Jepara. Dengan demikian, hal itu berlangsung setelah runtuhnya Kadipaten Jipang Panolan 1549, menyusul berdirinya Kerajaan Pajang.

Pada masa kekuasaan Sultan Hadi Wijoyo inilah, muncul perintah kepada Ki Ageng Penjawi dalam sebuah sarasehan di Bagelen, agar Ki Ageng Penjawi menuju ke Pati , sekitar 1562. Jika putra kedua Ki Ageng Penjawi, yaitu Raden Sidik atau Wasis diangkat sebagai Adipati Pati Pati sekitar Tahun 1587, usianya jelas mencapai 40 tahun lebih.

Runtuhnya Pajang, maka putra Ki Ageng Pemanahan, Sutowijoyo diangkat sebagai penguasa Kerajaan Mataram bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Di sinilah sebenarnya penguasa Pati yang selalu tak pernah berhenti mengobarkan perang demi perang, karena oleh Panembahan Senopati, Adipati Pati ini diangkat sebagai Senopati Perang (bersambung)

Previous post Serapan Gabah Petani oleh Bulog Terus Meningkat
Next post Hukum untuk manusia PKPU No 20 tahun 2018.

Tinggalkan Balasan

Social profiles