DISADARI atau tidak, pembuat cerita tutur tersebut sengaja memposisikan kedua bocah kembar itu mempunyai kelebihan dibanding bocah lain seusia. Sehingga Adipati Pati Wasis merasa terancam, sehingga bocah yang disebut-sebut sebagai anak bangsa jin itu pun harus dimusnahkan dengan cara membuat keduanya takut kemudian melarikan diri keluar dari lingkungan kadipaten, karena dikejar para para prajurit.
Jika Sirwendo lari ke utara sampai di sebuah perempatan mencoba dengan berlari sambil melompat, sehingga sepintas tampak bleber tapi masih sempat tertangkap oleh para prajurit sehingga bocah itu akhirnya harus tewas di tempat tersebut. Sedangkan nama tempat meninggalnya disebut Bleber yang kemudian menjadi senuah perempatan, dan disebut pula perempatan Bleber.
Makam bocah itu, ira Tahun 1970-an pernah juga dipindahkan ke barat karena lokasi makam itu terkena pelebaran perempatan, tapi sayangnya makam itu sekarang tidak ada lagi bekasnya. Sebab, tempat memindahkannya ada di atas lahan milik warga yang besar kemungkinan, lokasi itu sudah tertutup sebuah bangunan.
Demikian pula satu bocah lainnya, Janurwendo, waktu terjadi pengejaran larinya justru ke barat dan sempat terhalang alur kali. Saat itu bocah tersebut berupaya melompati kali itu, tapi sayang kakinya terperosok (Jawa) kejeglong, sehingga sampai sekarang tempat peristiwa itu disebut dengan Jiglong, dan makam bocah itu ada di sisi timur alur kali, yaitu di Kampung Saliyan.
Tidak jauh dari makam umum, di situlah letak makam yang disebut-sebut sebagai makam Mbah Jiglong. Sayangnya, karena kita ini tidak mempunyai pejabat kepala daerah dari dulu hingga sekarang yang mempunyai kepedulian terhadap situs-situs peninggalan yang mempunyai niai sejarah, kendati itu hanya sekadar cerita tutur, maka bukti-bukti iti sekarang tidak bisa lagi terlacak.
Akan tetapi paling tidak dengan cerita tutur tersebut, penulisnya pasti mempunyai kecenderungan untuk memposisikan diri bahwa Adipati Pati, Wasis itu pernah ada. Dengan demikian, tidak setiap peristiwa sentra figur pemimpin terfokus pada Kembang Joyo, sebagaimana banyak tertuls dalam cerita babad.
Karena itu, pertanyaan kita yang tak pernah lepas dari kebenaran akan cerita itu lagi-lagi tetap pada pemindahan kekuasaan dari Kemiri ke Kaborongan yang disebut-sebut penguasa Adipati waktu itu adalah Tombronegoro, putra Kembang Joyo. Kemudian pertanyaan lainnya, siapa yang juga disebut dengan Adipati Tondonegoro.
Untuk lokasi makamnya tepat ada di ujung pertigaan sebelah timur pusat pemerintahan sekarang, atau di ujung antara Jl Dr Wahidin dan Jl Tondonegoro. Jika Tondonegoro pernah menjadi Adipati Pati setelah Tombronegoro, apakah yang bersangkutan itu benar putra Tombronegoro berararti makamnya pun masuk status atau katagori makam kuna.
Atau itu Adipati lainnya yang pernah berkuasa di Pati, tapi pada era kolonial karena hanya ada kesengajaan untuk menghapus salah satu huruf sehingga bisa menjadikan nama Tondonegoro. Sebab, hal itu bisa saja dibuat oleh pembuat cerita tutur atau cerita babad, bahwa sebenarnya makam yang ada di ujung pertigaan itu sebenarnya Adipati T (j) ond (r)o negoro.
Barangkali yang benar memang demikian, sehingga kalau itu nama Tjondronegoro itu adalah Adipati pada masa kolonial, atau pascaperang Diponegoro. Akan tetapi di sisi lain, makam Adipati Tjondronegoro I s/d IV, semua ada di Puri. Lalu, siapa Tjondonegoro yang ditulis Tondonegoro ini, apa benar itu putra Tombronegoro, jauh nian rentang waktunya.(bersambung)