MASIH dominannya cerita tutur tentang Adipati Kembang Joyo, sosok figur ini tampaknya sulit untuk digeser oleh sosok tokoh lainnya, dan itu akan berlangsung sampai kapan pun. Apalagi, dalam cerita tutur maupun babad sudah terstruktur sedemikian rupa, sehingga peristiwa yang melingkupi tokoh itu tak lain pemindahan pusat pemerintahannya dari Kemiri ke Kaborongan.
Karena itu pertanyaan lain pun selalu mengusik nalar, tentang kemungkinan angka tahun pepindahan tersebut dilakukan masalah pemerintahan putranya, Tombronegoro pada abad XIII, atau pada masa pemerintahan Kerajaan Mojopahit. Pertanyaan lain, lalu siapa pula Tondonegoro yang juga disebut-sebut sebagai Adipati Pati.
Dengan demikian, Kembang Joyo sendiri selamanya akan selalu menjadi kembang lambe atau bahan percakapan jika bicara soal Pati. Banyaknya cerita tutur pada masanya, muncul pula sosok tokoh lain seperti Dalang Soponyono yang menjadi Patih Adipati itu dengan sebutan Haryo Kencono, ada pula nama Singopadu, Sondong Majeruk, Sondong Makerti, dan juga Penewu Kemaguan, Yuyu Rumpung.
Jika masa kekuasaan tersebut berlangsung pada abad XIII, berarti ada dua abad Pati tidak mempunyai cacatatan sejarah lain. Padahal, masa itu di Kemiri Wetan sudah ada nama tokoh lain, yaitu Josari yang menegaskan namanya jadi nama Desa Sarirejo, hal itu menegaskan bahwa catatan masa pemerintahan Kadipaten Pati bersamaan dengan masa pemerintahan Kerajaan Majapahit semakin tidak relevan.
Demikian pula, perpindahan pusat pemerintahan dari Kemiri ke Kaborongan juga patut dipertanyakan jika itu dicatat sebagai peristiwa besar yang tiap tahun diperingati sebagai Hari Jadi Pati sampai sekarang. Sedangkan kecenderungan penyebutan Josari yang tak lain, adalah Ki Ageng Kemiri, seharusnya cikal bakal Pati itu tidak perlu harus mengambil angka catatan paling tua.
Dengan kata lain, mengambil angka atau masa tahun setelah Kerajaan Demak atau pada abad XV hal itu justru akan lebih relevan. Pertimbangannya, jika Ki Ageng Kemiri ada pada sekitar abad itu, tentu runtuhnya Demak dan pusat pemerintahan beralih ke Pajang, sekitar 1562 Sultan Pajang, Hadiwijoyo minta Ki Ageng Penjawi untuk menuju Pati.
Perintahnya pun jelas, agar Ki Ageng Penjawi nggulawentah Pati sehingga kedatangannya ke Pati, sudah barang tentu yang dituju adalah Kemiri Wetan. Apalagi, putrinya Waskito Jawi pun selama itu menjadi putri angkat adiknya, Nyai Ageng Kemiri karena pada awal perkawinannya dengan Ki Ageng Kemiri belum dikarunia momongannya.
Setelah mengambil putri angkat, Waskito Jawi, maka Ki Ageng dan Nyi Ageng Kemiri dikaruniai dua putra, yaitu Raden Hadi dan satu perempuan yang dipastikan Roro Suli. Oleh pemilik cerita tutur, Roro Suli ini disebutkan menjalin cinta dengan orang asing pendatang, yaitu Baron Sekeber yang konon dari hubungan cintanya itu lahir anak kembar, Janur Wendo dan Sirwendo.
Akan tetapi, fakta lain menduga dan menempatkan bahwa sebenarnya antara Roro Suli dan kakak sepupunya, Wasis telah terjadi perkawinan sedarah. Akan tetapi, dalam kehamilan Roro Suli, Wasis harus bersama prajurit Adipati Jepara, Kalinyamat untuk melakukan ekspidisi kedua di Selat Malaka, sehingga sampai putranya lahir kembar, nama yang diberikan adalah Seto Waning Gito dan Seto Waning Gati.
Adakah dua anak kembar ini juga bernawa Janur Wendo dan Sir Wendo, lagi-lagi cerita tutur ini menyajikan ganbaran nasin tragis kedua bocah laki-laki itu. Sebab, setelah Wasis ditetapkan sebagai Adipati Pati oleh Ratu Jepara, sekitar 1587, bocah ini yang hidup dalam lingkup kadipaten mempunyai kemampuan lebih dibanding anak-anak seusianya.
Apalagi, kedua boca kembar itu di bawah asuhan Ki Ageng Kenduruan, sehingga mereka pun bisa bermain di dalam tempayan air untuk berwudu, yaitu padasan. Dengan sungut padi, mereka pun mampu memanah seekor nyamuk, ketika keduanya harus menjaga Adipati Wasis yang tengah tidur.(bersambung)