Mengungkap Peradaban Usang Pati Tempo Dulu (lanjutan)

KONON dalam perjalanan selesai sarasehan dengan para wali yang lain, Sunan Muria terpaksa harus berhenti karena alur kali di depannya sedang banjir. Untuk menyeberangi alur kali tersebut, jelas tidak mungkin karena tidak ada jasa juru tambang mengingat alur kali berada di kawasan daerah dengan ketinggian tertentu.

Namun atas kauasa-Nya, pemilik cerita tutur ini dengan sengaja membuat pelesetan bahwa muncul seekor kerbau betina jilmaan dari kalangan jin. Kerbau itu akhirnya bersedia menyeberangkan Sunan Muria, tapi dengan syarat tertentu sehingga sampai terjadi kehamilannya, dan lahirlah si KLebo Anabrang atau Kebo Nyabrang yang juga mempunyai kesaktian luar biasa.

Sampai pada suatu saat dia harus mencari ayahnya, yaitu Sunan Muria agar bisa diakui sebagai putra salah satu dari Wali Sanga itu. Akan tetapi juga dengan syarat khusus, asal Bambang Kebo Nyabrang bisa memboyong gapura kaputren Mojopahit ke Muria, dan secara kebetulan yang saat itu tengah dibawa oleh Sapi Gumarang yang menjadi taklukan Ronggo Joyo.

Karena itu adu kesaktian memperebutkan gerbang kaputren tersebut antara keduanya tak bisa dihindari, dan peristiwa itu disaksikan pula oleh Sunan Muria dari tempat ketinggian. Sehingga terlihat jelas atau ‘‘cetha wela-wela”  dan tempat itu sampai sekarang dikenal sebagai ”thawela”  tapi sebutan di lokasi sebuah jalan menanjak antara Pati-Gembong itu lebih mudah diucapkan sebagai trowelo.

Sementara itu peperangan antara Ronggo Joyo dengan Bambang Kebo Nyabrang juga sama-sama menunjukkan kesakatiannya, sehingga keduanya tampak sama kuat. Atau sama-sama bandhole sehingga tempat tempat pertempuran mereka itu sampai sekarang menjadi sebuah nama pedukuhan, yaitu ”Ndole”, Desa Muktiharjo, Kecamatan Margorejo.

Akses jalan yang terhalang dan dibelah kali itulah, membuat Adipati Kembang Joyo bermaksud membangunnya sebagai jasa serta penghormatan kepada ayahnya, Sunan Muria. Akan tetapi, ketika rencana akses jalan itu memakan tanah di Ngagul tanpa minta palilah kepada yang dituakan di kampung itu, yaitu Empu Suwarno, maka perselisihan antara Kembang Joyo dan empu tersebut tak bisa dihindari.

Melihat dan mencermati konteks ceruta tersebut jika benar-benar ada dengan dukungan peninggalan yang masih ada sampai sekarang, adalah wajar tetap diyakini kebenarannya. Namu  pertanyaan lain juga masih mengusik penalaran kita bersama, karena dalam peristiwa tersebut untuk angka tahun juga sama sekali tidak tertera.

Karena itu, harapan satu-satunya jika sekelompok kepala desa di Kecamatan Wedarijaksa yang hendak menilisik keberadaan belas Kadipaten Carangsoko, berarti ada hal baru yang nanti bisa dijadikan acuan bersama. Sedangkan bekas kadipaten tersebut, lokasinya disebut-sebut terletak di antara perbatasan Desa Sukoharjo dan Panggungroyom.

Hanya masalahnya, bekas fondasi yang ditengarai sebagai bangunan pusat pemerintahan kadipaten tersebut, sekarang dittup kembali oleh seorang warga sebagai pemilik lahan itu. Dengan demikian, campur tangan pihak yang berwenang, utamanya Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pati, mutlak dibiutuhkan.

Jika situs berupa sebuah fondasi bangunan bekas kadipaten tersebut mampu memberikan titik terang, khususnya angka tahun maka keberadaan Adipati Kembang Joyo dengan pusat pemerintahan di Kemiri tak akan lagi tergeser liarnya penanfsiran banyak pihak. Dengan kata lain, tokok seorang Adipati Kembang joyo itu memang ada pada masanya (bersambung).

Previous post Pasar Ya’ik Kembali Dilakukan Penataan
Next post Jasa Permak Levis Keliling Tetap Dibutuhkan

Tinggalkan Balasan

Social profiles