Mengungkap Peradaban Usang Pati Tempo Dulu (lanjutan)

KENDATI di Kemiri terdapat situs Genuk Kemiri, dan di lingkungannya terdapat makam yang disebut-sebut sebagai makam Adipati Kembang Joyo, hal itu belum memperkuat cerita tutur yang sampai sekarang diyakini kebenarannya bahwa lokasi tersebut merupakan pusat pemerintahan Kadipaten Pati yang juga punya nama lain Kadipaten Pesantenan. Apalagi jika disebutkan dalam acuan putra Kembang Joyo yang menggantikannya sebagai Adipati kedua, Tombronegoro memindahkan pusat pemerintahan dari Kemiri ke Kaborongan.

Lebih-lebih pemindahan pusat pemerintahan tersebut pada abad ke XIII dijadikan sebagai titik pangkal, lahirnya pusat pemerintahan baru sehingga sampai saat ini tiap tanggal 7 Agustus diperingati sebagai Hari Jadi Pati. Sungguh ironis, karena hal itu menjadi sebuah prosesi yang tak lebih hanya sekadar pengibulan massal yang sengaja dilegalkan.

Alasannya, nama Kampung Kaborongan yang sekarang masuk wilayah Kelurahan Pati Lor itu adanya tidak terpaut jauh dengan kebaradaan Rumah Sakit Umum (RSU) RAA Soewondo. Sedangkan pembangunan rumah sakit tersebut berlangsung pada era pra kemerdekaan, atau saat Adipati Pati dijabat oleh R Tjondronegoro.

Sedangkan nama sebelumnya jika di lingkungan itu terdapat pusat pemerintahan, biasanya lebih dikenal sebagai Magersaren atau Magersari. Sebab, wilayah sekitarnya saat itu di bawah kekuasaan Ki Ageng Gantangan, sehingga nama perkampungannya pun Gantangan dengan cakupan wilayah termasuk lokasi yang saat ini bernama Parenggan.

Diperkirakan kemunculan nama itu rentang waktunya, ketika lingkungan pusat pemerintahan yang disebut Magersaren berubah menjadi Kaborongan. Nama tersebut diambil, ketika wilayah itu menjadi tempat banyaknya warga pendatang yang pekerjaannya sehari-hari menjadi pekerja bangunan, di antaranya saat pembangunan RSU RAA Soewondo berlangsung, dilakukan para pekerja dengan sistem pembayaran upahnya secara borongan.

Dengan demikian, jika nama Kaborongan disebut-sebut sudah ada pada masa pemerintahan Kadipaten Pati di bawah kekuasaan Adipati Tombronegoro di abad pada awal masa pemerintahan Kerajaan Majapahit keterpautan, misalnya mempunyai angka tahun rentangnya pun terlalu panjang. Karena itu, marilah kita sama-sama mencoba mengungkap peradaban uasang Pati ini secara hitam-putih, bukan secara abu-abu.

Dengan kata lain, jika peradaban masa itu Pati atau Pesantenan yang menjadi pengendali wilayah, seperti di Gantangan maupun Kemiri adalah para Ki Gede/Ki Ageng. Untuk Kemiri Wetan, misalnya, penguasa wilayah itu sudah barang tentu adalah Ki Gede Kemiri yang nama aslinya bisa saja Ki Josari yang dalam cerita tutur pemilik nama itu adalah Menak Josari, putra Adipati Paranggarudo.

Akan tetapi hal itu bisa dipatahkan dengan kemunculan nama Desa Sarirejo di wilayah itu, jeas para tetua waktu itu mengambil nama Ki Ageng Kemiri yang aslinya adalah Josari, diubah menjadi nama Sarirejo. Secara logika, pembalikan penyebutan Josari menjadi Sarirejo hal itu lebih bisa diterima sebagai fakta, karena di Sarirejo juga terdapat sebuah makam kuna yang terabaikan.

Makam tersebut berlokasi tak jauh dari Masjid Besar Sarirejo, di atas tanah milik mantan kepala desa masa itu. Di tanah pekarangan yang terdapat tanaman ketela pohon tersebut, makam itu sama sekali tidak terawat, paling tidak bisa menjadi titik awal ungkap, pada peradaban masa itu wilayah Kemiri Wetan ini statusnya sebagai apa.

Benarkah sebagai pusat pemerintahan Adipati Kembang Joyo yang oleh pengganti, putranya Tombronegoro dipindahkan ke Kaborongan. Padahal nama Kaborongan sendiri baru muncul belakangan, seputar masa berdirinya RSU RAA Soewondo, atau di era pemerintahan Adipati Tjondronegoro

Melihat fakta tersebut, seharusnya ada keberanian untuk mengungkapkan hal itu secara hitam-putih, bawa penguasa Kemiri Wetan waktu itu adalah Ki Ageng Kemiri, atau nama aslinya Josari dan sampai sekarang digunakan menamai Desa Sarirejo. Peradaban masa itu berlangsung sekitar abad XV atau pertengahan abad XVI..

Sebab, Ki Ageng Kemiri waktu itu beristrikan Nyi Ageng Kemiri yang tak lain adalah adik perempuan Ki Ageng Penjawi, dan siapa Ki Ageng Penjawi, dia adalah putra Ki Ageng Ngerang III yang menikah dengan putri Kanjeng Sunan Kalijaga. Karena itu sama sekali diragukan, jika Ki Ageng Penjawi menerima hadiah Bumi Perdikan Pati dari Sultan Pajang, Hadiwijoyo, atas jasanya bersama Ki Ageng Pemanahan menumpas pmberontakan Adipati Jipang (1549).

Ketidakbenaran tentang pemberian hadiah Bumi Perdikan Pati itu, jika dirunutkan dengan Sarasehan Bagelen (1562) atau 13 tahun sejak runtuhnya Jipang, Sultan Pajang Hadiwijoyo atau Joko Tingkir atau nama masa kecilnya Mas Karebet, dalam sarasehan yang berlangsung pada malam Selasa Kliwon itu meminta kepada Ki Ageng Penjawi  agar menuju ke Pati. Pertimbangannya, saat itu musim kemarau, dan Ki Ageng Penjawi pun diminta oleh Sultan Pajang, untuk menata (nggulawentah) Pati.

Dengan berkuda pada malam itu bersama beberapa pengikutnya, termasuk putra lelakinya, Wasis,  Ki Ageng Penjawi dari Bagelen menuju ke Pati. Sampai di Pati, tempat yang dituju tentu ke Kemiri, di rumah adik perempuannya Nyi Ageng Kemiri, karena di Kemiri putri pertamanya, Waskita Jawi sejak kanak-kanak sudah diambil atau diasuh oleh bibinya, Nyi Ageng Kemiri.

Masalahnya, ketika perkawinan antara Nyi Ageng Kemiri dengan Ki Ageng Kemiri atau Ki Josari waktu itu belum dikaruniai anak. Dengan mengasuh Waskita Jawi, lahirlah putra pertama, Mas Hadi dan menyusul berikutnya lahir pula seorang putri tanpa diketahui siapa namanya, tapi diperkirakan dialah yang disebut-sebut sebagai Roro Suli.(bersambung)

Previous post Mengungkap Peradaban Usang Pati Tempo Dulu
Next post Samin News Berpuisi

Tinggalkan Balasan

Social profiles