BEBERAPA hari terakhir ini, atau tepatnya sejak H-1 Lebaran hingga sekarang sebuah kalimat meski hanya empat huruf, yaitu m-a-a-f ternyata menjadi atmosfir dan mampu menyihir jutaan dan bahkan ratusan orang di republik ini. Sehari-hari sepertinya ada sesuatu yang hilang sebelum mengucapkan itu saat mereka bertemu satu dan yang lain.
Hal itu bisa berlangsung di mana saja, di rumah mewah, restoran megah, swalayan, pasar, jalanan, kafe maupun tempat hiburan malam sampai tempat-tempat maksiat lainnya. Sehingga kalimat itu menjadi sakralisme wajib hubungan timbal-balik antara manusia satu dengan lainnya, atau bahkan itu hanya sekadar basa-basi yang sudah mentradisi.
Sebab, di dunia maya pun tiap hari mengalir ungkapan yang sama dengan aneka bentuk yang vulgar sampai yang penuh gaya. Melihat yang demikian memberikan kesan, bahwa bangsa di republik ini memang benar-benar bangsa yang andap-asor, lembah manah, dan pemaaf tiada duanya, tapi sayangnya budaya yang sudah mentradisi ini hanya mencuat dalam kurun waktu setahun sekali.
Padahal, jika setiap individu dengan kesadaran rasa sebagai bagian dari makhluk sosial seharusnya kalimat empat huruf itu cukup ampuh untuk menghapus berbagai permasalahan maupun konflik yang terjadi antarinvidu, kelompok, suku, ras, agama maupun antargolongan. Dengan maaf, kita tentu bisa menjadi dewasa dalam berpikir, bersikap dan berperilaku.
Apalagi dalam berbangsa dan bernegara, seharusnya antarsiapa pun setiap penyelesaian permasalahan bisa lebih disederhanakan. Sebagai kita ini makhluk sosial, bukan makhluk planet yang bangga dengan kekuatan karena keangkuhan dan kesombongan agar menjadi superior tak terkalahkan, tanpa menyadari bahwa waktu adalah batas berakhirnya semua itu.
Karena itu, kesakralan kalimat tersebut seharusnya jika di antara kita merasa melakukan salah dan, khilaf kemudian dengan penuh kesadaran diri untuk minta maaf, maka pemberian maaf pun tak boleh ditawar dengan kesombongan dan keangkuhan diri. Jika rasa masih memanjakan hal demikian, maka maaf dan memaafkan tak lebih hanya sekadar transaksi basa-basi.
Akibatnya, maksud baik untuk saling memberi dan menerima tak jelas mana ujung dan mana pangkalnya, karena semua hanya berakhir dengan pengulangan-pengulangan seperti sekarang, saat Lebaran. Apalagi banyak individu yang melegitimasi, bahwa manusia adalah tempatnya salah, dan jika sadar demikian maka maaf seharusnya tidak perlu menunggu saat Lebaran.
Kendati demikian, masih ada sisi positif lain jika permintaan maaf musiman yang sudah mentradisi ini menjadi agenda budaya tahunan. ‘Hal itulah yang membedakan bangsa di republik ini dengan bangsa lain, karena tiap tahun masih mengagendakan kata maaf ini secara turun temurun meskipun jika harga dan nilianya dinominalkan menghabiskan triliunan rupiah.
Itulah mahalnya harga sebuah kalimat empat huruf, m-a-a-f.