Catatan Redaksi
YANG tulus memaafkan itu sebenarnya hanya hati, tersampaikan lewat lisan, meskipun apa yang diungkapkan itu bisa saja sakadar basi-basi, tapi hati selalu jujur dan tidak bisa dipungkiri di zaman ini.i. Demikian ungkapan maaf dalam momentum untuk kembali ke yang fitri, setelah satu bulan berkutat dan berlomba-lomba mengekspresikan diri dalam bingkai atmosfir kebaikan dengan berpuasa Ramadan.
Akan tetapi konteks kebaikan zaman ”now” di antara kita ini terasa ada yang hilang tergadai, ketika harus mengungkapkan rasa saling memaafkan cukup dengan penggalan-penggalan kalimat, entah berdasarkan ketulusan dan keikhlasan atas apa yang ditulis dan dibuat sendiri, atau sekadar kopi paste (kopas) dari kecanggihan teknologi alat komunikasi. Jika kalimat yang ditulis dengan bahasa yang tidak dipahami, bukankah itu sama saja ungkapan permintaan maaf hanyalah sekadar formalitas.
Apalagi dalam konteks pergaulan sosial dengan komunikasi sehari-hari menggunakan kecanggihan teknologi seperti itu, tanpa disadari kita ini telah terjebak dalam pola ”snobitas.” Sehingga kita hanya bisa berkata dengan reka-reka tanpa bisa mengetahui apa sebenarnya yang kita sampaikan dalam tulisan sebuah kalimat.
Hal tersebut tentu tak berbeda jauh dengan model-model kopas, agar apa yang diungkapkan biar dianggap, oo….keren, jooossss, dan banyak ungkapan model snobitas lainnya. Satu di antaranya adalah ungkapan permintaan maaf di hari yang fitri ini, hanya cukup dengan sekadar tulisan tanpa dimaknai oleh roh ketulusan yang biasanya diawali dengan visualisasi jabat tangan.
Sebab, jabat tangan bukanlah hanya sekadar berpatuknya dua telapak tangan masing-masing yang bersangkutan. Akan tetapi lebih dari itu, makna yang tersurat maupun tersirat adalah ungkapan kedua hati untuk berkomitmen dalam getaran denyut nadi kehidupan, sehingga maknanya setelah satu dan lainnya saling jabat tangan, hal itu menjadi akat sebuah kesepakatan untuk tidak lagi kembali mengulang kesalahan.
Karena itu, jabatan tangan selalu diikuti dengan ungkapan mohon maaf lahir dan batin, ya batinnya ya lahirnya secara jujur untuk saling bersedia memberi dan menerima permintaan maaf tersebut. Karena ini konon adalah zaman ”now” cukup dengan sekedar tulisan maupun gambar hasil kopas dari orang lain, sudah dianggap seperti mewakili ungkapan permintaan maaf tersebut.
Hanya karena kecanggihan teknologi komunikasi, untuk memohon dan memberi maaf di hari yang fitri ini sudah hilang tergadai, karena ungkapan yang seharusnya diwarnai dengan roh ketulusan dan kejujuran, ternyata dianggap cukup sekadar diwakili sebuah tulisan entah hasil kopas dari mana. Akhirnya setelah tulisan kalimat tersebut tersampaikan, kita mudah melupakan sehingga tanpa sadar kita pun kembali mengulang kesalahan.
Berdasarkan hal tersebut, maka ada ungkapan kaum bijak bahwa wujud kesempurnaan seorang manusia itu terletak pada kesalahannya. Akan tetapi tanpa pernah disadari, bahwa manusia yang selalu mengulang-ulang kesalahan, tanpa pernah berupaya untuk memperbaikinya, lahirlah sebuah penyikapan dan pola pikir bahwa untuk minta maaf, cukuplah sekadar diwakili oleh kata-kata atau tulisan kalimat, entah hasil kopi paste dari mana.