ANGKA kematian akibat covid-19 di Indonesia telah memasuki fase yang sangat mengkhawatirkan. Tanda-tanda landai maupun berakhirnya masa pandemi, nampaknya hingga kini belum muncul juga. Bahkan per 23 September saja, setidaknya 257.388 telah dilaporkan meninggal akibat virus mematikan tersebut.
Menyusul meningginya angka kematian akibat covid-19, secara tiba-tiba muncullah sebuah gagasan untuk mempersempit definisi “Kematian Akibat Covid”.
Hal tersebut bermula dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang mengirimkan surat kepada Kementerian Kesehatan untuk meminta penegasan definisi tersebut. Pihaknya mengusulkan agar para pasien yang meninggal dunia akibat penyakit penyerta (komorbid) tak disertakan dalam penjumlahan.
Bak gayung bersambut, Anggota Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Kesehatan Kemenkes M Subuh, dalam kunjungannya ke Provinsi Jawa Timur mengatakan bahwa Indonesia harus memaksa agar angka kematian segera turun melalui penyempitan definisi kematian akibat covid-19 dengan benar.
“Penurunan angka kematian harus kita intervensi dengan membuat definisi operasional dengan benar; meninggal karena COVID-19 atau karena adanya penyakit penyerta,” ucapnya kala itu.
Meskipun begitu, Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito menegaskan bahwa pemerintah tidak berencana sedikitpun untuk merubah definisi tersebut. Menurutnya, metode penghitungan tersebut telah mengacu pada standar yang ditetapkan oleh World Health Organitation (WHO). Dengan demikian, kematian karena penyakit penyerta akan tetap masuk hitungan.
Selain itu, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Dr. dr. Hariadi Wibisono, MPH, juga menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya, dalam membandingkan naik turunnya kasus diperlukan metode penghitungan yang sama.
“Untuk membandingkan kecenderungan naik atau turun, harus menggunakan definisi yang sama sehingga comparable. Perubahan definisi menyebabkannya tidak bisa dipakai untuk mengukur penurunan angka kematian. Kambing nggak bisa dibandingkan dengan domba,” ungkapnya.
Senada dengan Hariadi, Kepala Bidang Pengembangan Profesi PAEI Masdalina Pane mengatakan bahwa penyempitan difinisi bukanlah pilihan yang tepat. Jika hal tersebut dilaksanakan, alih-alih menurunkan angka kematian, yang ada justru hanyalah penurunan semu saja.
Lebih lanjut, Masdalina menyebut tidak ingin masuk lebih jauh terkait definisi kematian yang konon akan diubah. Namun, ia hanya menyoroti perihal mekanisme penyakitnya saja.
“Kalau ditanya apakah ada kasus meninggal karena COVID-19 murni, tentu tidak ada. Tapi kita bisa melihat perubahan kondisi tubuh terakhir sebelum meninggal,” tuturnya.
Nemun meskipun begitu, dalam hal penyempitan definisi ia sedikit melontarkan pertanyaan yang cukup mendasar bagi publik. “Meskipun memang belum ada kasus meninggal murni akibat covid-19, tetapi berapa sering pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, bawaan jantung bisa tiba-tiba meninggal hampir serempak dan mereka semua butuh ventilator?,”
Dengan itu berarti, komorbid itu sendiri tidak menimbulkan kematian. Namun, hilangnya fungsi pernafasan tersebut didahului oleh infeksi SARS-CoV-2.
Yahh, memang cukup pelik urusan covid-19 di Indonesia. Tapi memang sebenarnya perubahan definisi seperti itu tidak begitu penting, seharusnya pemerintah lebih menitikberatkan pada penanganan, bukan justru pembahasan-pembahasan semu seperti itu. Tapi ya terserah, mbuh apike kono Buk, Pak !!