SETIDAKNYA satu semester sudah frasa baru “Protokol Kesehatan” terus terdengar tanpa ada ujung pangkalnya. Bak seperti kata ajaib, apapun bisa lolos apabila dua kata tersebut disatukan lalu disisipkan dalam sejumlah acara.
Jika dipersempit, Protokol Kesehatan ialah mencuci tangan memakai sabun atau handsanitizer, menjaga jarak dan mengenakan masker. Namun dari ketiganya, masker adalah primadona yang selalu disebut dan diawasi oleh pemerintah.
Pertama yang diributkan adalah cara pakainya. Indonesia belajar cukup lama untuk bisa memproklamirkan cara pakai yang benar, bahkan para petingginya sejak awal pandemi lebih dahulu mengajarkan cara yang salah, hingga terlanjur diikuti rakyat dan sekarang kita cape sendiri meluruskannya.
Selain itu, barangkali nanti cara melepas, mencuci, dan membuangnya juga akan akan diributkan lagi.
Klaster penularan dalam keluarga atau kantor, bisa jadi bukan semata-mata karena ada salah satu orang yang membawa virusnya sebagai orang tanpa gejala, tapi juga bisa dari masker itu sendiri yang sudah sarat dengan percikan orang sana-sini dan saat dilepas tergeletak begitu saja di meja kantor, meja makan, kursi atau bahkan tergantung di rak baju untuk dipakai lagi kapan saja, jika mau keluar rumah.
Namun, apakah protokol kesehatan hanyalah mengenai pemakaian masker? Lalu bagaimana dengan menjaga jarak aman ataupun mencuci tangan?
Parahnya lagi, pelanggaran protokol kesehatan juga diam-diam terjadi pada orang-orang yang mengawasi dan yang memberi sanksi. Terlebih sanksi yang diterpkan juga sering kali hanyalah sebuah guyonan seperti push up, berjoget, menyapu atau sejenisnya.
Penerapan aturan di negeri ini masih seperti taman kanak-kanak yang siswanya belum dewasa, belum cukup umur, belum mempunyai kematangan otak depan yang bisa membedakan antara baik buruk dan benar salah. Atau barangkali penerapan protokol kesehatan sudah lapuk menua seiring lamanya aturan tersebut ditetapkan. Ahh ya sudahlah…