SEJAK ditetapkannya 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 153/Tahun 1967, secara tidak langsung bangsa Indonesia menyepakati bahwa bahwa Pancasila itu sakti.
Jika kita mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “Sakti” sendiri memiliki makna mampu atau kuasa berbuat sesuatu melebihi kodrat alam. Semisal bila seseorang mampu berjalan di atas air, maka orang tersebut sakti. Makna sakti berikutnya adalah mempunyai kuasa gaib dan juga keramat.
Lalu bagaimana kaitannya dengan Kesaktian Pancasila? Apakah serupa dengan manusia maupun benda mati yang memiliki kemampuan melampaui kodrat alam, gaib, maupun keramat?
Jika kita memaknai Kesaktian Pancasila secara harfiah semacam itu, tentu hal tersebut menjadi irasional dan tidak masuk akal. Sebab hingga detik ini Pancasila tidaklah secara serta merta memiliki kemampuan melampaui kodrat alam semacam itu.
Untuk itu, kita perlu mentafsirkan Kesaktian Pancasila secara lebih luas dan substantif. Dari berbagai catatan sejarah yang ada dan sudah terpublikasi dan diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi Idonesia selama ini, pemberian nama sakti, cikal bakalnya adalah adanya peristiwa Gerakan 30 September yang lebih dikenal sebagai G30S/PKI.
Namun, dalam mengartikan Kesaktian Pancasila secara utuh tentu kita tidak bisa hanya mengacu pada satu sudut pandang saja seperti mengacu dari KBBI maupun sejarah yang telah dituliskan saja. Secara prinsip, Kesaktian Pancasila tak mungkin sekerdil itu.
Pemilihan kata Kesaktian Pancasila sejatinya hanyalah sebuah metafor belaka. Untuk diaplikasikan kedalam sebuah penjabaran tentu akan berbeda pada masing-masing individu. Sederhananya Pancasila adalah masing-masing individu bangsa Indonesia itu sendiri, kita tentu memiliki Pancasila masing-masing di dalam diri kita.
Sebenarnya, yang perlu kita tanyakan bukanlah tentang arti Pancasila atau Kesaktian Pancasila, melainkan bagaimana kita mampu menafsirkan seberapa besar ia ada pada darah kita masing-masing?