BERBAGAI narasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap virus corona tentu seringkali kita lihat di linimasa media sosial. Seperti pagi ini, saya sendiri baru saja melihat sebuah postingan yang terkesan sarkasme namun sebenarnya tak lebih hanya sebuah pernyataan konyol saja.
“Mohon dijelaskan, pasien positif corona yang sudah sembuh, sembuh karena obat ataukah sembuh dengan sendirinya? Kalau sembuh dengan obat, apa nama obatnya? Kalau sembuh dengan sendirinya, untuk apa buang-buang waktu, tenaga, biaya bahkan nyawa? Kalau yang meninggal disebabkan karena penyakit bawaan, kenapa sibuk mengurus orang yang tanpa gejala? Kalau yang meninggal karena salah diagnosa, bagaimana merevisi datanya? Kenapa tidak disampaikan juga? Aku ditakoki wong ngene bingung jawab bantu lah jawab,” tulis salah satu akun Facebook.
Membaca postingan tersebut, tentu dari sini kita sudah dapat menyimpulkan bahwa masyarakat hingga saat ini masih banyak yang kurang faham atau bahkan gagal faham mengenai covid-19. Jika kita perhatikan postingan-postingan netizen, rata-rata mereka menyangsikan mengenai diagnosis dokter mengenai covid-19. Bahkan tak sedikit dari masyarakat yang menyebut bahwa penyakit apapun jika dibawa ke rumah sakit, pasti akan disebut sebagai covid-19.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Dokter Spesialis Paru di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, Erlina Burhan. Ia menyebutkan masih ada masyarakat yang tidak memahami bahwa Covid-19 bisa menimbulkan gejala yang berbeda-beda sesuai organ tubuh yang diserang. Kurangnya pemahaman itu tak jarang membuat beberapa di antaranya menuduh para dokter asal mendiagnosis pasiennya.
“Kadang-kadang pasien datang dengan gejala stroke dan positif Covid-19, lalu keluarga marah-marah ke dokter karena merasa yang dialaminya gejala stroke, padahal infeksi Covid-19 juga,” ungkap Erlina.
Bahkan ia pun menyebut bahwa covid-19 merupakan penyakit seribu wajah. Istilah ini merujuk kepada sifat virus SARS-CoV-2, virus corona penyebab penyakit itu, yang bisa menyerang organ tubuh selain saluran pernapasan. Beberapa organ yang bisa diserang virus ini disebutnya meliputi saluran pencernaan, organ jantung, pembuluh darah, pankreas, bahkan otak.
“Kemampuan virus itu menyebabkan banyak pasien positif Covid-19 datang dengan gejala yang bermacam-macam seperti jantung atau gula darah yang tinggi,” tambahnya.
Erlina juga mencontohkan, pada kasus dimana SARS-CoV-2 menyerang pembuluh darah, pasien akan mengalami hipertensi. Hal itu disebabkan oleh virus yang menyumbat aliran darah sehingga pembuluh darah menyempit.
Selain itu, dia menjelaskan, gejala yang ditimbulkan oleh pasien Covid-19 juga dipengaruhi oleh adanya penyakit penyerta atau komorbid. Parahnya, Erlina menambahkan, infeksi Covid-19 pada orang atau pasien seperti ini bisa menyebabkan penyakit yang dialaminya semakin parah, bahkan menyebabkan kematian.
“Meninggalnya bukan karena penyakit penyerta, tapi virus Covid-19 yang menginfeksinya,” katanya, “Di luar ada banyak orang hipertensi atau penderita gula darah yang tidak terinfeksi Covid-19, dan mereka tidak meninggal.”
Itu sebabnya, Erlina mengimbau masyarakat tidak berburuk sangka kepada para dokter yang memberi diagnosis Covid-19. “Dokter tidak akan menulis diagnosis Covid-19 kalau tidak ada bukti, buat apa dokter meng-covid-kan pasien?” katanya.
Secara pribadi, saya sering merasa muak ketika melihat seseorang yang menyebut bahwa covid-19 hanyalah rekaan saja. Hal tersebut dikarenakan saya tahu betul bagaimana keluarga dan kerabat saya yang bekerja sebagai tenaga kesehatan. Saya tahu betul bahwa mereka tiap hari bekerja bertaruh nyawa menghadapi covid-19 yang sudah semakin gila.
Meskipun begitu saya juga tak lantas bisa menyalahkan masyarakat yang tidak mempercayai covid-19. Saya tahu betul bahwa ketidakpercayaan tersebut hanyalah sebuah menifestasi akan kekecewaan terhadap penanganan pemerintah yang masih tak jelas ujung pangkalnya.