PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yang terkesan grudak-gruduk di tengah kondisi pandemi covid-19 menjadi gambaran jelas bahwa DPR sudah tidak berjalan sesuai fungsinya lagi.
RUU Kontroversial tersebut akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna DPR RI Senin kemarin. Pengesahan tersebut juga diiringi penolakan dari dua fraksi yakni PKS dan Demokrat.
Jauh sebelum pengesahan, RUU ini selalu menjadi perbincangan hangat bagi berbagai pihak. Dalam hal ini sebagian besar masyarakat tentu menolak adanya RUU tersebut. Jika terus ditolak, lantas apa motivasi pemerintah untuk mengesahkan RUU tersebut. Apa memang hanya ingin memancing amarah publik saja?
Jika tarik ke sudut suka memancing kemarahan, sepertinya pemerintah memang jelas sangat hobi menyulut kemarahan masyarakat. Terlebih jika kita perhatikan selama masa pandemi berlangsung.
Seperti urusan Pilkada Serentak yang juga ramai ditolak kemarin. Meskipun ditolak, toh nyatanya juga tetap kekeh dilanjutkan seenak jidatnya. Bahkan beberapa hari lalu, tercatat 53 daerah secara terang-terangan langgar protokol kesehatan pada minggu pertama kampanye.
Dan sekarang secara tiba-tiba pemerintah dan DPR menyebut bahwa pengesahaan RUU Cipta Kerja perlu buru-buru disahkan karena kasus covid-19 semakin meningkat. Sebuah alasan misterius dan luar biasa hebat curangnya.
Saya yakin sudah bukan rahasia lagi jika banyak orang yang menilai bahwa ada agenda terselubung dibalik upaya mati-matian pemerintah untuk mengesahkan RUU satu ini. Bagaimana kita tidak bisa menerka seperti itu jika pembahasannya saja dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan pakar, apalagi masyarakat yang nantinya akan paling terdampak.
Terlebih jika pernah membaca ulasan ekonom Faisal Bahri mengenai sesat pikir Omnibus Law. Dalam tulisannya ia menyebutkan bahwa masalah investasi di Indonesia itu bukan soal syarat perizinan di birokrasi (yang jadi alasan dibikinnya Omnibus Law), melainkan karena korupsi dan low quality of investmen. Artinya Omnibus Law ini sama sekali tidak bisa menjawab persoalan apapun.
Parahnya lagi pemerintah dan DPR menjadikan momen pandemi sebagai sebuah celah untuk melancarkan aksi curangnya. Tapi saya yakin ketakutan akan kondisi pandemi tak akan menyurutkan tekat perlawanan masyarakat terhadap sistem yang benar-benar tidak sesuai ini.
Perlu diketahui, masyarakat lebih takut lapar dari pada corona maupun pembubaran dengan dalih memutus mata rantai penyebaran covid-19. Yang jelas, dalam hal ini pemerintah sudah kelewat curangnya..