Membumikan Peringatan Hari Jadi Pati; Sebuah Catatan dari Beberapa Tulisan (29)

Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Dirjen Kebudayaan Kemneyrian Pemdidikan dan Kebudayaan Nadjamuuddin Ramly dan Bupati Haryanto dalam Seminar Nasional Pelestarian Kebudayaan Tradisional Kabupaten Pati, di pendapa kabupaten setempat, Minggu (4/8) lalu.(Foto:SN/aed)


SAMIN-NEWS.COM PERADABAN masa lalu orang itu belum mengenal apa itu budaya almanak/penangalan, tapi mempunyai ingatan cukup kuat tentang hari dan pasarannya. Semisal Minggu Legi, Minggu=5 dan Legi=5 sehingga hari dan pasarannya atau satuannya berjumlah 10 yang sudah membudaya cukup kuat, di kalangan masyarakat Jawa hingga sekarang.
Akan tetapi dalam hal memperingati hari kelahiran sesorang, bukan dihitung dalam kuriun waktu satu tahun sehingga menjadi budaya ulang tahun, melainkan dalam hitungan ”selapanan” atau 36 hari. Karena itu nenek moyang kita (Jawa), hari dan pasaran lahir putra-putrinya selalu membuat bubur ”merah putih” sebagai pengingat.
Maksud dari simbol yang sederhana itu, tak lain agar segala bentiuk ”sengkala” (kesialan) sesuai warna bubur merahnya agar ”nyimpang” dan bubur putihnya, agar ”sengkala”tersebut ”nyiseh” Kesederhaan itulah sebenarnya esensi dari sebuah penyelenggaraan peringatan, dan seharusnya termasuk peringatan perpindahan pusat perintahan Kadipaten Pati dari Kemiri ke Kaborongan.
Semakin meningkatnya perkembangan budaya masyarakat dan cukup kuatnya pengaruh teknologi informasi, maka peringatan Ke-696 Hari Jadi Pati Tahun 2019 dikemas dalam agenda untuk menciptakan daya tarik, serta membuktikan terciptanya kemajuan daerah ini. Sebuah konsekeunsi logis bahwa ”jerbasuki” memang harus ”mawabea.”
Bupati Haryanto dalam Seminar Nasional Pelestarian Kebudayaan Tradisional di Kabupaten Pati.(Foto:SN/aed)

Apalagi, jika peringatan hari jadi dengan prosesi kirab boyongan itu ”dibumikan” sebagai peristiwa budaya, tentu diharapkan menjadi aset budaya. Hal tersebut mengingat Pati juga sudah berhasil menyusun Pokok Pikuran Kebudayaan Daerah (PPKD) Tahun 2018, sehingga perlu dirumuskan kembali apa yang sebenarnya terkandung dalam makna ”hijrah” / pindahnya pusat pemerintahan pada masa itu.
Sebab, dalam cerita tutur disebutkan dengan ditengarai angka Tahun 1323, ketka Kadipaten Pati Pesantenan di bawah kekuasaan Adipati Tambranegara, putra Adipati Kembang Joyo. Terjadinya beberapa konflik selama kepemimpinan Kembang Joyo, seperti makarnya Empu Sumlai dari Klaling yang sampai saat ini dikenal dengan sebutan ”Eyang Sili” dan nyaris terjadinya pertumpahan darah dengan Empu Suwarno, penguasa dui Ngagul.
Khiusus yang disebut terakhir Adipati Kembang Joyo hendak membangun jalan menuju ke Muria, melewatiu bumi perdikan. Karena itu putranya, Adipati Tombronegoro berkuasa, untuk menghilangkan ”sengkala” maka pusat pemerintahannya pun dipindahkan dari Kemiri ke Kaborongan hingga sekarang.
Berdasarkan peristiwa tersebut, maka umur Kabupaten Pati hingga sekarang sudah mencapai angka hampir tujuh abad, empat tahun lagi. Kendati demikian, penetapan angka tahun terjadinya pemindahan pusat pemerintahan tersebut masih bisa ditelisik dasar-dasar kelemahan dan ketidakseuian kesejarahannya, maka perlu adanya rekepahaman bersama.(sn) 
Previous post kepala Desa Harus Tertib Administrasi Biar Terhindar pasal 28 UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa
Next post Konsekwensi Wong Pati

Tinggalkan Balasan

Social profiles