BELUM lama ini diberbagai media massa tersiar kabar bahwa Rizieq Shihab melalui kanal Youtubenya menyerukan kepada seluruh muslim yang ada di Indonesia untuk melakukan unjuk rasa dengan tajuk ‘Aksi Bela Nabi Muhammad SAW’ sebagai wujub protes terhadap pemerintah Prancis.
“Saya serukan semuanya untuk aksi 211 (2 November) di Jakarta dan aksi 411 (4 November) di Kota Bandung untuk membela Nabi Muhammad SAW yang telah dihinakan, dilecehkan oleh Presiden Prancis, yang dihinakan dilecehkan oleh sebagian masyarakat Prancis, oleh media-media Prancis,” kata Rizieq.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan aksi unjuk rasa. Sebab, mengemukakan pendapat merupakan hak sebagai warga Indonesia. Bahkan hal tersebut merupakan sebagian dari hak konstitusional kebebasan berpendapat.
Namun, melakukan unjuk rasa hingga berkali-kali terlebih dalam masa pandemi seperti ini juga bukanlah sebuah pilihan yang bijak.
Terlebih, konon mahasiswa dan para buruh juga akan tetap menyerukan tuntutannya terhadap UU Omnibus Law yang masih dianggap bermasalah hingga kini.
Disini saya kok jadi merasa bagi Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai organisasi afiliasinya, setiap permasalahan baik itu yang sifatnya politis maupun isu agama, semua harus dibumbui dengan aksi unjuk rasa.
Jangan tanya lagi, terlebih jika ada sebuah permasalahan yang mencuat yang berpotensi mendudukkan masyarakat dan pemerintah untuk saling berseberangan, FPI pasti ambil posisi.
Tahun ini saja, tiap kali ada keriuhan bahkan yang tidak berhubungan dan bertolakbelakang dengan semua kegiatannya, mereka pasti akan tetap ikut dalam aksi unjuk rasa.
Seperti permasalahan UU Ciptaker beberapa waktu lalu, entah paham atau tidak apa itu UU Ciptaker. Tapi sepertinya memahami permasalahan yang diunjuk rasai itu tak penting bagi mereka, yang penting bisa berteriak-teriak menjelek-jelekan pemerintah dan di tengahnya bisa menuntut “Jokowi mundur dari Jabatannya sebagai Presiden.”
Bahkan berbagai organisasi buruh diantaranya KSPI yang seharusnya senang ada yang ikut mengunjuk rasai misi mereka dalam menolak UU Ciptaker merasa aneh dan heran, mengapa FPI dan organisasi afiliasinya tersebut ikut berunjuk rasa.
“Kami tidak tahu apa latar belakang kawan-kawan yang aksi hari ini. Kami tidak tahu, sehingga saya tidak bisa memberikan komentar terhadap ketidaktahuan saya,” ujar Said Iqbal Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Bukan hanya dalam riuh UU Cipta Kerja, sebelumnya saat rencana RUU Haluan Ideologi Pancasila hendak dibahas di Parlemen dan sebagian masyarakat menentangnya karena dianggap akan mengubah konten Pancasila.
Mereka pun nempak begitu aktif menggelar aksi hingga berjilid-jilid seolah merekalah yang paling Pancasilais. Padahal jika kita tengok AD/ART FPI, bahkan mereka tak sedikit pun mencantumkan Pancasila sebagai dasar organisasinya.
Bahkan dalam aksi unjuk rasa menolak RUU HIP, terselip sebuah kata pamungkas mereka yakni menuntut Jokowi untuk mundur sebagai presiden. Dan jika hal tersebut dipersoalkan, sudah jelas kalimat yang muncul adalah, “Woi ini kebebasan berpendapat, jika aksi seperti ini dilarang berarti negara otoriter, membenci umat muslim”
Sebenarnya tidak ada masalah dengan semua yang aksi unjuk rasa yang disampaikan oleh FPI. Tidak salah juga ketika mereka menyerukan Aksi Bela Nabi Muahammad SAW, toh jelas apa yang dilakukan oleh Presiden Prancis jelas melukai hati semua umat muslim di dunia.
Akan tetapi yang menjadi titik berat adalah, apakah semua hal harus diserukan melalui unjuk rasa dan mengatakan Jokowi harus mundur dari jabatannya? Saya kok justru melihatnya menjadi sebuah hal yang aneh saja. Terlebih jika para mahasiswa dan buruh masih berjibaku dalam penolakan UU Cipta Kerja, biarlah mereka yang berunjuk rasa terlebih dahulu. Masih banyak medium lain kok untuk menyerukan kecaman atas pernyataan Presiden Prancis.