Koordiator Gusdurian Pati, Eddy Siswanto (kiri) bersama Kiai Happy Irianto penjunjung pruralisme di Pati.(Foto:SN/dok-aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI – Salah satu di antara sekian banyak murid Sunan Kudus tak lain seorang pemuda dari etnis Tionghoa, Ma Kuw Kwan. Pada perjalanannya selama menuntut ilmu di Pondok Pesantren (Ponpes) Glagahwangi, atau nama lain dari Kasultanan Demak Bintoro, oleh Sunan Kudus yang bersangkutan diberikan nama baru sebagai Syarif Hidayat.
Kendati demikian, Sunan Kudus sendiri masih sering memanggil nama asli pemuda tersebut karena dia memang salah satu santri kesayangannya. Santri murid Sunan Kudus, saat itu ada sembilan santri yang tataran ilmunya sudah cukup tinggi, tapi yang paling menonjol dalam perjalanan hidupnya memang Ma Kuw Kwan.
Sebab, kata Koordinator Gusdurian Pati Eddy Siswanto, apa yang dikutif dari referensi pustaqka yang dimiliki,murid Sunan Kudus ini juga pernah menimba ilmu kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam keseharian Ma Kuw Kwan lebih banyak mengajarkan tata cara bercocok tanam yang baik kepada sesama santri mupun kepada para petani.
Karena itu dari hari ke hari dia pun semakin dijadikan panutan, dan bahkan mulai banyak pengikutnya, sehingga semakin disegani. ”Selain sebagai pemuka agama, Ma Kuw Kwan juga seprang ahli di bidang pertanian, sehingga oleh para pengikutnya dijuluki sebagai Ki Ageng Kedu, dan seiring berjalannya waktu masyarakat menyebutnya sebagai Ki Ageng Makukuhan,”ujarnya.
Sebagai seorang ahli bercocok tanam, masih kata Eddy Siswanto, dari referensi yang dibacanya, ternyata tidak pernah meninggal tradisi yang sudah membudaya di masyarakat. Yakni, mengajak masyarakat untuk mengadakan selamatan, atau yang pernah dikenal dengan sebutan ”wiwit” termasuk ”wiwit” saat harus memanen hasil apa yang ditanam.
Da;am acara selatan itu, tentu ada doa bersama yang dipanjatkan sehingga warga pun berdoa bersama memohon berkah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak hanya saat akan memanan tanaman padi, karena Ki Ageng Makukuhan juga mempunyai keahlian menanam tembakau, dan saat berlangsung selamatan dengan menyajikan tumpeng robyong itu ternyata hasil produksi tanaman tembakau juga cukup melimpah serta memuaskan..
Seperti biasa, dalam acara selamatan tersebut pasti dilanjutkan dengan makan bersama, serta menikmati jajan pasar maupun buah-buahan. Tak ketinggalan minum kopi kental, merupakan salah satu kegemaran Ki Ageng Makukuhan karena dalam kesempatan itu sekaligus dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Islam
Di saat-saat acara wiwit yang menyajikan tumpeng robyopng terbuat deari beras ketan hitam dengan aneka lauk ingkung ayam, ikan teri, telur dan telur dadar dan lauk lainnya warga akan beramai-ramai turun ke sawah, terutama saat mulai memanen tembakau, dan dalam acara ini warga menyebutnya ”among.” Saat tembakau selesai dipanen dan dirajang ternyata ada perbedaan tembakau dari sawah yang mendapat ”ndaru rigen” dan yang sebaliknya.
Jika tembakau dari tanah/lahan biasa itu dirajang akan jatuh menyebar, tapi tembakau dari lahan yang mendapat ”ndaru rigen” saat dirajang justru mengumpal atau ”nyrintil.” ”Karena itu masyarakat petani penanam tenbakau menamakan jenis tembakau ini sebagai tembakau Srintil, itulah salah satu cara bercocok tanam tembalau yang diajarkan Ki Ageng Makukuhan, ”kutip Eddy Siswanto.(sn)