MELALUI sikap BEM UI baru-baru ini, tergambar jelas bahwa apa yang dilakukan Polri dalam konteks pembubaran FPI tanpa melalui peradilan, sebenarnya taka da bedanya dengan apa yang dilakukan FPI ketika melakukan pembubaran kemaksiatan tanpa landasan hokum apapun. Sebab jelas, mekanisme pembubaran ormas telah diatur dalam Undang-Undang Ormas sehingga arogansi Polri dinilai rasa FPI.
Berdasarkan hasil diskusi BEM UI terutama bagian advokasi dari mahasiswa fakultas hukum UI menunjukkan tindakan kapolri mencerminkan niat baik namun caranya tidak tepat.
Penghentian seluruh kegiatan FPI yang dilakukan Polri polanya persis dengan apa yang dilakukan oleh FPI dalam penghentian dan melarang kegiatan maksiat . Dalam hal ini FPI maupun Polri sama-sama menanggalkan ayat konstitusi dan hanya berpijak pada arogansi.
Seperti kita ketahui konstitusi melegitimasi terhadap kebebasan berkumpul dan berserikat dapat dilihat dalam Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Di satu sisi, aksi sweeping yang begitu melekat pada FPI memanglah bukan hal yang bisa dibenarkan. Sebab sejatinya penertiban semacam ini bukanlah wewenang FPI, malainkan wilayah kewenangan aparat penegak hokum seperti Polri dan Satpol PP.
Begitu juga aksi pembubaran ormas FPI bukanlah wewenang Polri karena yang berwenang melakukannya adalah lembaga pengadilan seperti Mahkamah Agung.
Secara prinsip embubaran ormas merupakan tahapan sanksi terakhir yang akan dijatuhkan kepada ormas yang melanggar tapi tidak boleh sepihak dengan maklumat dari kapolri Idham Azis berdasarkan meminta pertimbangan Mahkamah Agung untuk organisasi yang bersifat nasional.
Pencabutan status badan hukum ormas dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum kuat mengenai pembubaran Ormas berbadan hukum.
Dalam hal ini tentu sangat tidak berlebihan ketika ada beberapa pihak yang mempertanyakan apakah Indonesia justru akan memberlakukan pembungkaman ekspresi seperti di Tiongkok?
Selain itu, BEM UI juga juga mengungkit soal Maklumat Kapolri No.1/Mak/I/2021 yang dikhawatirkan dapat menjadi justifikasi bagi pembungkaman ekspresi.
“Aturan ini jauh lebih problematis karena dalam poin 2d normanya berisi tentang larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial. Padahal, mengakses konten internet adalah bagian dari hak atas informasi yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945 serta Pasal 14 UU HAM,” bunyi pernyataan itu.
Padahal menurut pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad bahwa pers bekerja berdasarkan UU, bukan maklumat. Sementara keputusan Polri kali ini ditetapkan dan diterapkan secara sepihak untuk kepentingan penguasa.
Jika kita mengacu pada proses pembubaran FPI kali ini, sebanarnya Polri memang menitik beratkan tentang keamanan nasional, namun dalam momentum tertentu sisi yuridis seharusnya berada di atas kekuasaan itu sendiri dan segala atributnya. Sebab ambisi keamanan nasional tanpa adanya pendekatan yang tepat tentu akan akan menjadikan blunder di tubuh Polri di mata masyarakat.