BEBERAPA waktu terakhir, tensi arena politik Indonesia memang terasa begitu memanas. Terlebih kala pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu. Gelombang penolakan pun datang terjadi hampir di seluruh penjuru Indonesia.
Di Serang, Banten pendemo yang terhimpun dari mahasiswa UIN Maulana Hasanuddin beberapa diantaranya bahkan ditangkap oleh polisi. Setidaknya 13 mahasiswa diamankan karena diduga sebagai provokator aksi tersebut.
Penangkapan tak hanya terjadi di lokasi unjuk rasa. Seorang demonstran berinisal OA ditangkap di tempat tinggalnya. Ia dikenakan pasal 212 KUHP dan diancam 1,4 tahun penjara.
Namun ada satu hal yang cukup mengherankan di balik penangkapan tersebut. Sebab, bukti yang digunakan polisi sebagai dasar penangkapan bukanlah sebuah temuan di lapangan, melainkan sebuah buku berjudul “Menuju Merdeka 100 %” yang merupakan gabungan sejumlah karya Tan Malaka yang diterbitkan oleh penerbit Narasi.
Peristiwa semacam ini bukanlah yang pertama ataupun yang terakhir. Sebab, seakan sudah biasa jika bangsa Indonesia menempatkan Tan Malaka sebagai sebuah kesalahan.
Seperti kita ketahui bahwa sebelumnya Tan Malaka pernah dianugerahi dengan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno. Namun semenjak rezim anti komunis Soeharto berkuasa, semua nama baik Tan Maka seolah dihapus dan dilupakan secara sistematis oleh sejarah Indonesia.
Dalam ingatan dan memori kebangsaan kita, Tan Malaka selalu diposisikan sebagai sebuah bahaya yang tak lekas pudar.
Bahkan pasca lengsernya Soeharto dari kursi kekuasaan, tak lantas melepaskan nama Tan Malaka sebagai sebuah bahaya. Jasa-jasanya tetap saja terlupakan dan tetap dikenang sebagai sebuah rangkaian marabahaya.
Untunglah, kita dapat mengakses buku-buku sejarah tentang Tan Malaka yang terlegitimasi secara akademik, sebutlah karya Harry A Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Obor, 2008). Buku yang terdiri dari 6 jilid itu dapat menunjukkan seberapa pentingnya Tan Malaka bagi Indonesia.
Adapun Java in Time of Revolution karya Benedict Anderson yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Revolusi Pemoeda (Marjin Kiri, 2018) turut menambah catatan penting tentang kontribusi besar Tan Malaka pada perjuangan generasi muda dalam revolusi Indonesia.
Sebenarnya ada secercah harapan melalui naskah akademik beserta penyebarluasannya yang tentu dapat membantu masyarakat untuk memperoleh pemahaman yang berbeda dengan narasi hitam-putih yang merupakan sejarah manipulatif produksi order baru.
Salah satu media arus utama menerbitkan berita “Trending di Twitter, Bagaimana Perjalanan Hidup Tan Malaka?” Pada hari yang sama, di tengah hiruk-pikuk itu, media sejarah populer pertama di Indonesia, Historia, mempublikasikan kembali tulisan tentang Tan Malaka di akun Twitter resmi mereka. Tulisan-tulisan itu telah dikomentari oleh ratusan pengguna media sosial tersebut, disukai lebih dari dua ribu, dan di-retweet oleh lebih dari seribu netizen.
Banyak orang mengaku baru tahu bahwa Tan Malaka lebih luas dari narasi yang diproduksi negara selama ini. Tak hanya tentang kisah perjuangan, di momen itu kita juga menemukan berbagai narasi, mulai dari kisah kasih tak sampainya hingga kedekatannya dengan ulama, soal hubungan Tan Malaka dengan budaya lokalnya hingga kisah keakrabannya dengan Jendral Soedirman, dan sebagainya.
Meskipun begitu, Tan Malaka juga bisa serta merta kembali dilupakan menyusul liarnya informasi di dunia maya. Sebab dalam era digital seperti sekarang ini, apapun jadi serba sementara.