SELASA (9/2) kemarin tiap tahunnya selalu diperingati sebagai Hari Pers Nasional. Nyaris taka da perayaan apapun, bahkan pameran foto pemakaman Covid-19 yang rencananya akan diselenggarakan oleh Samin News saja terpaksa dibatalkan demi kebaikan bersama.
Secara hingar bingar, perayaan Hari Pers Nasional kali ini terasa begitu berbeda. Namun secara substantif semua pihak yang berkecimpung dengan profesi tersebut seharusnya bisa berkontemplasi dengan keadaan yang sedang buruk seperti sekarang ini.
Di tingkat nasional, berbagai isu mengenai kebebasan pers dewasa ini terus bergulir dan terus menjadi isu yang seksis untuk diperbincangkan.
Seperti kita ketahui bahwa kemerdekaan pers sudah diatur dan dijamin serta dilindungi UUD Tahun 1945 dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, serta Kovenan Internasional Sipil dan Politik.
Namun nyatanya, serangan demi serangan seringkali menimpa jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya. Mulai dari serangan fisik, non fisik bahkan serangan digital masih seringkali ditemukan di berbagai daerah.
Sepanjang 2020, LBH Pers mencatat ada 24 kasus penganiayaan terhadap jurnalis, 22 kasus pemaksaan/penghapusan data liputan, dan 23 kasus perampasan/pengrusakan alat kerja.
Sementara itu, untuk serangan non fisik berupa pengancaman penggunaan kata-kata yang merendahkan 10 kasus, ancaman verbal 7 kasus, dan penghinaan 4 kasus. Lalu, serangan non fisik yang mengarah pada kekerasan seksual 2 kasus.
Dan untuk serangan digital sendiri jenis-jenisnya berupa doxing atau penyebarluasan informasi pribadi kepada publik tanpa persetujuan pemilik sebanyak 7 kasus, peretasan 6 kasus, intimidasi digital 4 kasus dan serangan berupa spam messages 2 kasus.
Meskipun keadaan kebebasan pers akhir-akhir ini dinilai begitu memburuk, bukan berarti buruknya kondisi pers saat ini hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pengancaman dan sebagainya.
Di sisi lain, independensi pers juga seringkali justru dicederai oleh para jurnalis itu sendiri. Mulai dari isu berita pesanan dari salah satu perangkat politik tertentu, hingga maraknya jurnalis abal-abal (wartawan bodrex, wartawan amplop) yang tidak jelas karya dan statusnya.
Secara garis besar, PR Hari Pers Nasional dari tahun ke tahun relatif sama. Hanya saja tingkat penetrasinya yang terasa begitu berbeda di tiap masanya. Dengan hadirnya momen Hari Pers Nasional yang penuh keterbatasan seperti sekarang, sudah seharusnya momen ini dijadikan untuk berefleksi oleh semua pihak di dalam maupun di luarnya.