Kemiri dengan situs Genuk Kemiri ditengarai sebagai awal pusat pemerintahan Kadipaten Pati Pesantenan lengkap dengan silsilah para penguasanya.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM DAMPAK dari peristiwa ”manten wurung” berakhirlah cerita tutur tentaang Kadipaten Paranggaruda. Sedangkan Yuyurumpung sebagai Penewu Kemaguan meskipun diberi pengampunan oleh Penewu Sukmoyono, tapi statusnya tetap sebagai orang taklukan, sehingga punya purba tapi tidak punya wasesa.
Jika sewaktu-waktu mencoba berulah masih bermimpi sebagai penewu yang punya purbawasesa, maka penghancuran wilayah Kawedanan Kemaguan pasti akan dilakukan oleh kekuatan Majsemi dan Carangsoko, sehingga wedana itu akhirnya menyadari bahwa mimpinya untuk bisa menjadi seorang adipati sudah kandas.
Peluang untuk itu memang sudah tertutup, maka dia pun sadar benar bahwa untuk bisa meraih kekuasaan tersebut tanpa dukungan kepemilikan/penguasaan pusaka piandel sebagai bentuk lain dari ”wahyu keprabon”, sangatlah sulit diraih. Apalagi, statusnya wilayah kekuasaan Kemaguan sudah merupakan taklukan Kawedanan Majasemi.
Sejak itulah, tidak ada lagi ontran-ontran yang mencoba ”njongkeng kawibawan” antara Carangsoko dan Mojosemi. Perkawinan antara Dalang Soponyono dan Dewi Rayungpun akhirnya terjadi, karena memang sudah takdir dan jodoh, dan berikutnya pun perkawinan antara Kembang Joyo dan kedua adik perempuan Dalang Soponyono pun berlangsung.
Ini peninggalan Genuk di situs Genuk Kemiri yang airnya disebut-sebut sepanjang zaman tak pernah kering.(Foto:SN/aed)
Seiring berlalunya waktu, Penewu Majasemi Sukmoyono berhasil memberikan pemahaman kepada Adipati Carangsoko, Puspoandumjoyo, bahwa regenarasi dalam tatanan pemerintahan itu ibarat berputarnya matahari maupun bulan yang sudah menjadi bagian dari hukum alam. Apalagi, jika mengingat usia Adipati juga boleh disebut sudah uzur.
Karena itu demi masa depan kelangsungan genarasi pada peradaban di masa sekarang dan mendatang, lebih baik Kembang Joyo bersama Dalang Soponyono diberi kesempatan untuk ”bebadra” membuka wilayah baru. Atas seizin sang Adipati, maka keduanya diberi wewenang untuk membuka kawasan hutan yang dalam cerita tutur disebutkan sebagai Alas Randu Gumbala.
Ancar-ancarnya dari Majasemi maupun Carangsoko menuju ke selatan, dan di dalam kawasan hutan tersebut banyak ditumbuhi pohon kemiri, pohon aren (enau), serta pohon rembulung (rumbia). Hanya orang-orang pemberani saja yang berani mendekat ke pinggiran hutan yang konon menjadi tempat hunian bangsa jin.
Berangkatlah anak-anak muda dengan disertakan para pengawal itu menuju ke hutan tersebut sebagaimana petunjuk dari tetua Mojosemi dan Carangsoko, sehingga dimulailah menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk membuat rompok di pinggiran hutan tersebut. Awal kerja keras pun dimulai (bersambung)