MULAI sekarang, jangan mau lagi menunggu penerbitan KTP elektronik atau sekdedar mengurus Kartu Kelurga hingga menunggu berbulan-bulan. Jikalau hingga saat ini anda masih selalu dipaksa untuk gigit hari dan menunggu keluarnya KTP atau KK dalam waktu yang terlalu lama, saya rasa sebagai warga negara yang taat membayar pajak, anda harus memberikan protes dan jangan terima begitu saja.
Terlebih sudah beberapa kali pemerintah pusat selalu mendengungkan gerakan revolusi dukcapil sebagai langkah memutus mata rantai budaya pelayanan kependudukan yang begitu berbelit-belit.
Jika kita lihat selama ini selalu ada saja permasalahan yang timbul dalam urusan pelayanan pencatatan kependudukan di Indonesia. Tantangannya pun terbilang cukup kompleks, mulai dari urusan pungutan liar hingga hal yang berkaitan dengan problem geografis (jauh dari pusat pemerintahan), kendala teknologi, dan sejenisnya.
Namanya saja mengurus pencatatan kependudukan sebuah bangsa yang besar dengan jumlah populasi lebih dari 270 juta jiwa, pastinya problemnya juga tak sedikit dan sama sekali tidak sederhana.
Dalam urusan pungli, saya tegaskan sekali lagi bahwa jangan sampai kita justru memaklumi adanya pengutan dengan berbagai alasan. Gunakan saja berbagai kanal pelaporan seperti “Halo Dukcapil” dengan call center 1500537, akun Twitter @dukcapil_kdn, nomor WhatsApp 08118005373, dan email callcenter.dukcapil@gmail.com jika anda masih seringkali mendapati praktik semacam ini.
Nah, sudah ada itikad baik dari pemerintah begini, tergantung pada kita lagi. Apakah kita juga mau berubah? Saya mengamati bahwa saat pemerintah sudah bertekad mengubah diri, kadang sebagian masyarakat enggan mengikuti. Masih saja setia dengan pola pikir lama yang merasa kurang sreg atau kurang sopan saat mengurus dokumen tanpa memberi ‘amplop’ atau ‘uang rokok’.
Inilah yang harus diberantas juga dalam benak masyarakat kita. Pungli itu tidak baik. Jadi saat birokrasi sudah menahan diri, jangan sampai masyarakat ada yang masih memberi.
Di sini, dosa itu malah bukan pada si birokrat malah pada Anda sebagai warga yang malah melestarikan pola pikir korup di negara Anda sendiri.
Selain itu, ada pula PR besar dukcapil dalam urusan perlindungan anak, yakni mengenai kurang populernya Kartu Indonesia Anak (KIA). Padahal seharusnya, anak-anak yang belum berusia 17 tahun juga harus diurus Kartu Identitas Anak-nya. Kenapa? Agar negara bisa memberikan perlindungan lebih optimal bagi mereka.
Pada zaman yang sudah semakin gila seperti sekarang ini, anak-anak sangat rentan menjadi sasaran berbagai jenis kekerasan seksual, perdagangan manusia, dan lain sebagainya.
Hanya saja tidak semua anak beruntung terlahir dalam keluarga yang normal dan utuh. Ada yang yatim piatu. Ada juga yang terlahir di luar pernikahan.
Ada pula yang terlahir sebagai anak dari pernikahan siri yang sah secara agama tapi belum diakui oleh negara karena tidak tercatat resmi.
Sesuai peraturan Mendagri No. 108 Tahun 2019, seorang anak yang yatim piatu (tinggal di panti asuhan misalnya) atau terlahir dari pasangan yang menikah siri tetap bisa tercatat secara sah dan hak-haknya bisa dilindungi negara. Nama orang tua bagi anak yang terlahir dari pernikahan siri bisa dicantumkan di kartu identitas anak.
Di KK, anak juga bisa dicatat secara sah dan status pernikahannya bisa ditulis “belum tercatat” karena berbeda dari pernikahan resmi yang sudah tercatat di negara.
Yah sebanarnya masih banyak lagi PR mengenai pencatatan kependudukan di Indonesia. Kembali pada pernyataan saya sebelumnya, namanya saja mengurus pencatatan kependudukan sebuah bangsa yang besar dengan jumlah populasi lebih dari 270 juta jiwa, pastinya problemnya juga tak sedikit dan sama sekali tidak sederhana. Iya kan?