Membumikan Peringatan Hari Jadi Pati; Sebuah Catatan dari Beberapa Tulisan (18)

Di lahan di sudut jalan dalam Desa Godo, Kecamatan Winong, Pati yang ditengarai sebagai pusat pemerintahan Kadipaten Paranggarudo, dan Tahun 2016 situsnya dilakukan penataan dengan dana desa sebesar Rp 150 juta.(Foto:SN/aed)


SAMIN-NEWS.COM  PENEWU (Wedana) Kemaguan, Yuyurumpung bersama Adipati Paranggaruda Yudhapati dan putranya, Josari kemarahannya semalam ”ditumplek” di Kadipaten Carangsoko. Karena itu bersama para pengikutnya pagi itu langsung melakukan pencarian ke mana kira-kira larinya putri Rayungwulan dan Dalang Soponyono, akhirnya diputuskan untuk mencari mereka ke utara.
Sebab, Yuyurumpung mempunyai dugaan kuat bahwa pelarian itu pasti menuju ke tempat Wedana yang selama ini secara diam-diam dianggap rival berat untuk ambisinya bisa menduduki jabatan sebagai Adipati. Untuk ambisi itu, Yuyurumpung yang juga mempunyai cacat fisik harus menebusnya dengan syarat cukup berat, yakni harus mempunyai pusaka wsebagai ”piandel.”
Pusaka dimaksud tak lain, khuluk Kanigoro, Keris Rambutpinutung, Kroncong Gumbalgeni, dan Sabuk Taliwangke. Padahal pusaka yang dituturkan milik Sunan Muria itu sudah diserahkan kepada putranya, yaitu Penewu Mojosemi Sukmoyono yang juga kakak Kembang Joyo, sehingga Wedana Yuyurumpung sudah melaksanakan niat jahatnya, mencuri pusaka tersebut.
Sedangkan bala maling yang diberi tugas mencuri adalah Sondong Majeruk, karena sering ke Wedarijaksa bertemu dengan adik sepergurannya, Sondong Makerti atau juga disebut Sondong Wedari. Apalagi, di seputaran Wedari, tepatnya di Desa Jontro hidup seorang perempuan cantik paruh baya, Nyi Lanjar yang senang berlaku ”sedeng.” (menyeleweng) sehingga Majeruk pun mengambilnya sebagai ”gendhakan.”
Punden Nyai Lanjar di Desa Jontro, Kecamatan Wedarijaksa, Pati.(Foto:SN/aed) 

Selesai berhasil mencuri pusaka ”piandel” Mojosemi, sudah pasti Sondong Majerik mengunjungi ”gendakannya” Nyi Lanjar, di Jontro sampai berhari-hari. Hilangnya pusaka Majasemi, maka Sukmoyono pun memanggil pengikut setianya, Sondong Wedari untuk mencari pusaka itu sampai ketemu.
Dari bahu badannya saja, Sondong Wedari bisa mencium keberadaan kakak seperguruannya, Majeruk ada di seputaran  Wedari, sehingga dipastikan bahwa yang maling pusaka Majasemi adalah Majeruk. Karena itu, Makerti diam-diam menemui Nyi Lanjar, untuk mengatur bagaiman caranya agar bisa mengambil pusaka tersebut dari tangan Majeruk.
Diaturlah sebuah siasat, agar nanti setelah gelapnya malam tiba, pintu rumah belakang jangan dipalang. Nyi Lanjar juga diminta agar membawa Majeruk bercengkarama di beranda depan, dan dia akan masuk ke kamar pribadi perempuan itu, maka tikar alas tempat tidur agar diturunkan hingga lantai atau menutup bagian kolong.
Dalam kesempatan berikutnya, begitu keduanya tengah berasyik-masyuk di mana posisi Majeruk berada di bawah, saat itulah keris di tangannya langsung ditancapkan sekuat tenaga dari kolong tempat tidur, Majeruk tak berkutik. Tengah malam itu juga jenasahnya sengaja dibuang/ditaruh di tengah jembatan sasak Bengawan Silugonggo yang bila pagi ramai oleh warga yang lalu lalang.
Karena itu sampai sekarang di Desa Jontro, terutama para orang tua  masih mempercayai adanya pemali. Yakni, jika memasang alas tempat tidur harus lebih sampai ke lantai, agar bisa menutup bagian bawah/kolong, agar tidak terkena pamalinya Sondong Wedari, tapi sampai akhir hayatnya keberadaan orang tersebut tidak diketahui rimbanya, dan yang ada di Wedari tinggal petilasan (punden) Nyi Watu, ibu dari Sondong Makarti.(bersambung) 

Previous post Pemda Butuh Rp 1,5 Triliun Untuk Normalisasi Sungai Juana
Next post Ini Foto Sedekah Bumi Penghuni LI, Bukan Mereka Terjangkiti AIDS

Tinggalkan Balasan

Social profiles