DALAM konteks Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang digelar di Sumatra Utara, alangkah baiknya jika kita memposisikan diri kita sebagai penonton saja. Sebagai masyarakat sipil, kita tak perlu fanatik, apalagi harus terbawa perasaan dengan peristiwa semacam ini.
Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang menghasilkan putusan bahwa Moeldoko adalah ketua umum baru tersebut memang sontak menjadi perhatian dan mengagetkan banyak pihak. Meskipun begitu, bagi saya hal ini biasa saja karena secara historis peristiwa semacam ini sudah beberapa kali terjadi di tubuh partai besar di Indonesia.
Mari kita buka halaman lama perjalanan Indonesia. Dahulu kita pernah mengenal Peristiwa Kudatuli, akronim dari Kerusuhan dua puluh tujuh Juli yang berhasil memecah Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Belum lagi tentang Partai Golkar yang juga terpecah beberapa tahun yang lalu.
Pendek kata, peritiwa semacam ini memang bukanlah hal yang baru, justru fenomena semacam ini sejatinya memang diciptakan agar perolehan suara dikuasai oleh penguasa.
Peristiwa 27 Juli 1996 atau yang biasa dikenal dengan Peristiwa Kudatuli, adalah sebuah peristiwa berdarah yang disebabkan oleh pengambilan paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jakarta Pusat.
Dalam sebuah cerita, sekitar pukul 6 pagi pada 27 Juli 1996, ratusan orang dengan kaos oblong berwarna merah dan ikat kepala bertuliskan “pendukung kongres IV medan”, turun dari truk. Menurut beberapa sumber yang saya terima, ratusan massa tersebut merupakan massa PDI pendukung kongres IV medan yang mendukung Soerjadi.
Bongkahan batu, pecahan paving, dilemparkan oleh ratusan orang itu ke kaca DPP PDI di Jakarta Pusat sehingga melukai pendukung Megawati yang berada di dalam gedung.
Dengan darah yang berceceran dan diiringi dengan pekikan nama Tuhan, pendukung Megawati yang berada di dalam gedung melakukan serangan balasan dengan bongkahan batu yang tadinya berasal dari luar.
Ketika massa berhasil memasuki gedung, ada seorang berkaos merah berteriak “bunuh PKI, bunuh PKI” sembari mengayunkan pedang ke arah sebuah meja.
Dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 11 November 1996, Ketua Umum Megawati Soekarnoputri menuturkan, tanggal 27 Juli 1996 sekitar 07.00 WIB, ia mendapat telepon bahwa kantornya diserbu.
Peritiwa tersebut lah yang berhasil memecah tubuh PDI sehingga kini kita bisa mengenal PDI Perjuangan. Lantas apa alasan PDI terpecah? Jawabannya mudah ditebak, yakni agar partai penguasa yang takut kehilangan suara pada pemilu selanjutnya, karena tidak bisa dipungkiri bahwa saat itu pendukung Megawati sangat banyak, dan tentunya hal itu menimbulkan kekhawatiran bagi partai penguasa saat itu.
Dualisme di tubuh partai memang begitu lazim terjadi. Semua demi memecah kongsi partai tersebut, akhirnya suara pecah dan hal itu akan berakibat pada perolehan suara pemilu.
Politik adu domba seperti ini rasanya memang begitu kental dan identik dengan era order baru. Kala itu seolah memberi pertanda, bahwa siapapun yang berniat menjegal langkah Soeharto maka akan berakhir dengan petaka.
Jika kita mau sedikit mengurai benang yang kusut, hal ini sepertinya cukup “make a sense” dengan terpilihnya Moeldoko sebagai ketua umum Partai Demokrat yang juga mendukung pemerintahan Jokowi – Ma’ruf. Sementara saat itu, Aburizal Bakrie memilih menjadi oposisi Jokowi – JK, sama halnya dengan AHY yang memilih untuk menjadi oposisi Jokowi – Ma’ruf.
Namun yang menjadi sebuah titik yang harus kita perhaikan adalah, kita sebagai orang awam dituntut untuk tidak fanatik kepada tokoh politik, karena pada kenyataannya, tidak ada lawan dan kawan yang abadi di dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan.