Benci Produk Asing, Kampanye Hangat-hangat Tai Ayam

BELUM lama ini seruan Presiden Jokowi menganai mencintai produk lokal dan membenci produk asing mendadak menjadi pro kontra di tengah masyarakat. Beberapa dari mereka berharap lebih dengan pernyataan ini, namun disisi lain tak sedikit pula yang menyayangkan pernyataan semacam ini.

Dari kaca mata saya pribadi, pernyataan ini tidak perlu terlalu ditanggapi. Sebab kita sudah tahu bahwa pernyataan ini hanya berifat hangat-hangat tai ayam, atau bisa kita simpulkan sebagai pernyataan sementara yang pasti akan terlupa secepatnya.

Tanggapan positif atau negatif mengenai pernyataan Presiden Jokowi kali ini hanyalah tentang bagaimana perspektif kita dalam menanggapi hal tersebut.

Sebab bagaimana pun juga nyatanya eksistensi produk lokal memang sangat perlu digaungkan. Mengapa? Lihat saja fakta mengenai pasar Indonesia yang dibrondong oleh produk-produk impor asal China.

Kurang bagaimana lagi jika nyatanya UMKM hijab saja sudah ditikung oleh produk China? Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, turut buka suara terkait ajakan presiden. Menurutnya, Jokowi meradang karena adanya permainan harga produk-produk dari luar negeri, yang membunuh UMKM lokal.

Mendag Lutfi bercerita pada tahun 2018 ada industri hijab yang mempunyai kemampuan penjualan luar biasa, industri ini mampu mempekerjakan 34 ribu pekerja dengan gaji mencapai USD 650.000 per tahunnya. UMKM yang sempat meroket itu, rupanya kemudian mati lantaran praktik persaingan tidak sehat dari produk asing asal China.

Lantas apakah Indonesia memang bisa lepas dari belenggu impor? Atau pernyataan Jokowi hanyalah angin lewat semata? Sebenarnya jawabannya cukup jelas, untuk terlepas dari impor kita perlu membutuhkan waktu dan kemauan.

Tentu tidak bisa jika kita serta merta harus 100 persen menggunakan produk lokal dan berhenti mengkonsumsi produk asing. Hal ini juga tergambar jelas dari kampanye serupa yang pernah digembar-gemborkan oleh mendiang Presiden Soekarno yang pernah berkeinginan berkeinginan menjadikan setelan jas dan peci untuk laki-laki, dan setelan kebaya kain untuk perempuan untuk menentukan batas keindonesiaan.

Lantas bagaimana hasilnya? Semua masih sebatas hangat-hangat tai ayam saja.

Previous post Kondisi Terakhir di Lokasi Terdampak Banjir; Petani Banyak Menderita Kerugian Material
Next post DPC PKB Pati Sampaikan Target Pemilihan 2024

Tinggalkan Balasan

Social profiles