PADA malam Jumat Pon itu para santri begadang (melekan) di kubur Mbah Syamsul Hadi, sambil menanti penggalian makam yang sedianya akan dilakukan setelah shalat subuh. Pada malam itu Kapolsek Jaken, Pak Jalmo, adalah salah satu santri kinasih, mempelopori penggalian ini, dan karena terlalu semangatnya beliau mengomando, maka kurang lebih jam 03.00 atau sebelum subuh sudah selesai.
Kendati demikian, pemindahan jenazah masih menanti putra-putrinya, dan juga santri-santrinya datang. Sedangkan kondisi jenazah Mbah Syamsul Hadi, ternyata masih utuh, hanya kain kafannya sebagian kotor karena tanah. Melihat hal itu, maka para santri berusaha untuk mencium atau memegang jenazah beliau, Mbah Syamsul Hadi.
Setelah dimasukkan ke dalam peti jenazah yang semula dipakai untuk menutup lahat, dan sudah barang tentu hal itu didasari dengan tanah di bawah jenazah. Dengan demikian, kurang lebih jam 05.30 jenazah diusung dari makam umum menuju ke lokasi makam keluarga yang semua kelengkapannya sudah dipersiapkan di belakang masjid.
Akan tetapi, untuk pengusungan jenazah tidak lewat jalan desa yang kurang lebih jaraknya satu kilometer, melainkan menerobos lewat tengah sawah H Musthofa. Perkiraan waktu itu, jaraknya hanya kurang lebih hanya 150 meter, sehingga perjalanan mengsung jenazah tentu lebih singgkat bila dibandung lewat jalan desa.
Sesampainya di makam keluarga, para santri telah siap menerima dan memakamkan kembali jenazah tersebut. Karena terlalu banyak dan padatnya para santri yang berjubel, akhirnya oleh Pak Jalmo diputuskan bahwa yang bertugas memakamkan kembali jenazah itu hanyalah dari pihak keluarga sehingga yang lain harus mundur agar lokasi sekitar makam lebih longgar.
Akhirya pemakaman kembali jenazah Mbah Syamsul Hadi hanya dilakukan oleh putra dan cucu-cucunya, di bawah komando Bapak H Tholhah. Selesai pemakaman kurang lebih jam 08.00, sebab selanjutnya makam tersebut sekalian ditembok, yaitu mulai dari bawah ke atas dengan patok (nisan) dari kayu jati yang sampai sekarang juga masih utuh dan asli. (bersambung)