MELALUI wacana pemberian label “penyintas korupsi” bagi mantan koruptor, bisa jadi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya sedang ingin mangajak masyarakat untuk bercanda saja.
Wacana tersebut diungkapkan langsung oleh Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana dalam agenda penyuluhan antikorupsi di Lapas Sukamiskin Bandung, Rabu (31/3/2021).
Pada kesempatan tersebut, Wawan menyebut mantan napi korupsi sebagai penyintas korupsi. Menurutnya mereka telah cukup memiliki banyak pengalaman berharga yang patut dibagikan kepada masyarakat setelah menjalani masa hukuman.
Dalam penuturannya, ide tersebut muncul dengan harapan bahwa semua pengalaman yang dibagikan eks koruptor ke masyarakat bisa mencegah praktik korupsi. Dengan begitu, upaya pemberantasan korupsi melalui aspek pencegahan bisa berjalan lebih efektif.
“Calon-calon (koruptor) kita harapkan tidak jadi punya niat setelah dengar testimoni dari para warga binaan, harapannya pengalaman-pengalaman itu bisa diterima oleh masyarakat lain dan tidak jadi melakukan korupsi,” kata Wawan.
Meskipun begitu, dalam hal ini saya yakin bahwa apa yang diungkapkan Wawan hanyalah gimmick belaka. Bagaimana tidak? Mana mungkin lembaga antirasuah sekelas KPK bisa melontarkan wacana sekonyol itu.
Bayangkan saja, bagaimana bisa seorang garong kelas wahid kita sebut sebagai penyintas? Coba buka saja UU 30/2002 yang menjadi dasar hukum pembentukan KPK, dalam UU tersebut disebutkan dengan begitu terang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Dengan kata lain, secara hukum tindak korupsi jelas bisa kita bandingkan dengan kejahatan selevel pembunuhan massal. Logika sederhanya, apa pantas kalau eks napi genosida diberikan panggung untuk melakukan penyuluhan dalam melawan kejahatan HAM?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penyintas berarti orang yang mampu bertahan hidup. Sementara pada bahasa Inggris, penyintas dikenal dengan kata “survivor”. Artinya, seseorang yang tetap hidup kendati hampir meninggal.
Kata penyintas lazimnya digunakan dan disematkan kepada mereka yang menjadi korban dan dapat selamat atas sebuah bencana seperti bencana alam, penyakit, tragedi maupun kecelakaan.
Dari sudut pandang paling dasar saja sudah tidak sesuai dan terkesan hanya lucu-lucuan. Sebab label penyintas hanya berhak dan pantas disandang oleh para korban. Saya ulangi, korban!
Sederhananya seperti ini, masyarakat yang menjadi korban lha kok malah juru garongnya yang dapat apresiasi? Kita yang dirampok, lha kok malah perampoknya yang mendapat penghargaan? Dark comedy tipe apa lagi ini?
Kalau hal ini nanti dianggap lazim, bukan tidak mungkin jika nantinya pembunuh juga akan menuntut menjadi penyintas pembunuhan. Para pemerkosa pun juga meminta menjadi penyintas rudapaksa, begitu pun dengan virus corona, ia pun akan meminta menusia untuk menyematkan lencana penghargaan sebagai penyintas Covid-19. Kurang kocak apalagi coba?