MENYUSUL berbagai rentetan aksi teror yang terjadi akhir-akhir ini, dalam benak saya tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan yang cukup mengganggu, yakni “jika agama di Indonesia hanya ada satu, apakah tindak terorisme akan berkurang?”.
Tanda tanya kecil mengenai hal tersebut tentu bukan tanpa sebab. Karena jika kita tengok kebelakang, banyak sekali aksi terror yang sekilas dikemas sebagai bentuk respon atas sentimen agama.
Sebut saja bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar 28 Maret lalu, kemudian Aksi bom di gereja Kalimalang, Jakarta di tahun 2011, teror bom di Vihara Ekayana, Jakarta Barat di tahun 2013, teror bom Gereja Immanuel Palu, Sulawesi Tengah di tahun 2016, Bom bunuh diri di Masjid Az-Zikra Mapolresta Cirebon di tahun 2011 dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sejatinya teror terhadap tempat ibadah bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Penembakan massal juga pernah terjadi di kawasan masjid di Selandia Baru pada Maret 2019 telah menghebohkan pemberitaan internasional.
Seperti kita ketahui bahwa tempat ibadah merupakan tempat suci yang biasa dijadikan sebagai tempat berkumpul oleh banyak orang. Nyatanya meskipun berstatus sebagai tempat suci, para oknum teroris justru seringkali memanfaatkan hal tersebut sebagai medium untuk menebar rasa takut kepada masyarakat.
Sentimen agama memang seringkali menjadi alasan pelaku oknum teror dalam melancarkan aksinya di berbagai tempat ibadah. Pada titik ini pelaku mungkin tertanam pemahaman bahwa umat agama lain adalah ancaman yang akan memberikan kerugian bagi mereka yang melakukan aksi tersebut.
Meskipun begitu, realitanya semua agama tentu mengajarkan hal hal baik dan tak ada satu pun agama yang mengijinkan umatnya untuk melukai ataupun membunuh sesama manusia. Dari sini tentu kita dapat menyimpulkan bahwa agama bukanlah faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya aksi terorisme.
Kembali ke pertanyaan kita sebelumnya, jika agama di Indonesia hanya ada satu, apakah tindak terorisme akan berkurang?
Dalam beberapa alasan, sebenarnya saya ingin mengatakan akan berkurang. Namun pada kenyataannya, sentiment agama bukanlah satu-satunya alasan bagi pelaku teror dalam melaksanakan aksinya.
Seperti ungkapan salah satu teman saya yang sempat mengenyam program studi Agama dan Lintas Agama Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menyebut bahwa kita tidak bisa begitu saja mempersempit faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang untuk menjadi seorang teroris, sebab tentu tidak ada single factor dalam suatu tinda teror.