BELUM lama ini, nama Tere Liye secara tiba-tiba mengemuka di ruang publik lantaran salah satu unggahan di akun Twitter pribadinya. Dalam titik ini sebenarnya saya tidak tahu betul apakah Tere Liye memang memancing keributan, ataukah netizen yang terlalu cepat beraksi dan membuat gaduh hal tersebut.
Yang jelas, dalam cuitannya penulis yang memiliki nama asli Darwis tersebut mengungkapkan “dungu” sekali mereka yang membeli buku bajakan. Bukan hanya itu, dalam unggahan tersebut Tere Liye juga menggoblok-goblokkan mereka yang biasa membaca buku bajakan.
Netizen pun ramai menyoroti penggunaan bahasa yang kasar dalam unggahan Tere Liye. Netizen pun berpendapat bahwa mayoritas pembaca buku Tere Liye mayoritas adalah anak SMA bahkan SMP yang tentu masih terlalu polos dengan isu pembajakan buku.
Kesimpulannya, netizen pun menganggap bahwa gaya bahasa yang dilontarkan Tere Liye terlalu tidak pantas digunakan kepada pembacanya.
Tanpa membaca kolom komentar pun kita tentu akan tahu bahwa perdebatan tersebut akan berujung pada mereka yang menganggap Tere Liye terlalu congkak dan pembelaan atas pembacanya yang terlalu polos dalam isu pembajakan.
Sebagian lainnya tentu juga menyambar dengan membongkar soal hak-hak penulis yang dirampas, serta kesadaran publik mengenai hak cipta.
Sebagai seorang penyuka buku dan sempat aktif di berbagai komunitas sastra, sebenarnya ada dua bahasan yang cukup membuat saya jengah. Yang pertama mengenai minat baca yang begitu rendah, yang kedua adalah mengenai isu pembajakan buku yang begitu tidak bisa dibendung.
Ringkasnya, persoalan tersebut sebenarnya bukan hal yang baru, terlalu klasik, bahkan sudah berpuluh-puluh tahun sebelumnya terdengar gemanya. Selama itu, problem tersebut memang tidak sampai pada titik temu, seringkali hanya sebatas keluhan-keluhan, bahkan terkadang berujung pada umpatan.
Dengan realitas pahit seperti itu, kericuhan lini masa yang dipicu oleh unggahan Tere Liye itu sebenarnya salah sasaran. Ini sudah bukan lagi soal akhlak seorang Tere Liye, bukan pula minimnya kesadaran publik akan hak cipta.
Seharusnya dengan munculnya permasalahan Tere Liye tersebut, semua pihak mau berpikir dan bertanya tentang hal yang lebih mendasar. Yakni kenapa pengetahuan masyarakat yang minim akan isu pembajakan, berikut kepolosan anak-anak SMP dan SMA yang membaca buku-buku bajakan itu terus dibiarkan?
Sampai kapan? Apakah untuk menunggu segalanya membaik anak-anak itu harus ditunggu dewasa dulu, ditunggu sampai tak lagi lugu, ditunggu punya duit cukup dulu, sehingga mereka cukup kuat untuk membeli buku asli dan baru?
Sementara, ketika anak-anak itu beranjak dewasa, pasti akan hadir adik-adik mereka, generasi yang akan (lagi-lagi) diberi permakluman karena kepolosan mereka, dan mata rantai kanker ganas pembajakan ini tak akan pernah selesai.
Segalanya akan ditutup dengan nasihat moral yang sangat bijak: “Kasihan sekali kalau anak-anak yang polos itu malah digoblok-goblokkan, padahal seharusnya mereka diberi edukasi.”