DUA pekan berlalu tapi ”geger genjik” Bambang ”Pacul” Wuryanto-Puan Maharani-Ganjar Pranowo masih terus berlanjut. Bahkan intrik-intrik di genre panggung politik PDI Perjuangan ini tampaknya tidak akan segera berakhir sampai Ketua Umumnya, Megawati mengusung dan menetapkan siapa calon Presiden, pengganti Jokowi di Tahun 2024 nanti.
Apalagi, saat ini sesi adegan tontonan partai penguasa ini sudah berlanjut pada soal ancam mengancam oleh salah satu tokoh pemerannya yang tak lain adalah Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah. Yakni, jika sampai Megawati mengusung pasangan Capres-Cawapres (di luar) Puan, meskipun hal itu hanya sekadar memperebutkan rekomendasi untuk seorang Puan sebagai cawapres.
Sedangkan sebagai capresnya, jika benar skenario politik partai ini akan menempat Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo sebagai wujud perjanjian Batutulis serta diplomasi nasi goreng (nasgor). Dengan demikian, hal itu berupa pengulangan pada Pilpres Tahun 2009, munculnya pasangan Megapro yang kala itu harus berhadapan dengan pasangan SBY-Budiono dan JK-Wiranto.
Skenario pengulangan itu, jika kita cermati lebih seksama karena di baliknya bisa saja ada maksud lain, yaitu agar Prabowo jangan sampai berpeluang berpasangan dengan AHY. Akan tetapi, dalam hal tersebut Prabowo juga bukan politikus yang hanya tergiur pada tujuan mencapai kemenangan dan pencapaian puncak kekuasaan, melainkan juga mempunyai kalkulasi tersendiri.
Karena itu, jika PDI Perjuangan dalam kalkulasi politiknya pada Pilpres 2024 hanya memandang elektabilitas Ganjar dengan sebelah mata, maka hal tersebut adalah tantangan bagi Gubernur Jawa Tengah ini. Sedangkan tantangan itu sendiri tetap membutuhkan sikap realistis untuk menjawabnya, di mana Ganjar benar-benar ditakar keberanianya.
Keberanian apa yang dimaksud dalam konteks ini, tentu tak lain berkait keberanian Ganjar untuk ”ucul” dari kandang banteng. Akan tetapi dengan konsekuensi, harus berani pula mempertaruhkan elektabilitasnya meskipun tidak tampil sebagai capres yang diusung oleh partai berkuasa tersebut, yaitu siap untuk kalah.
Jika hal itu sampai terjadi, Ganjar pun tidak perlu meratapi nasib atas konsekuensi logis keberanian ”ucul”-nya dia dari kandang banteng. Kendati panggung politik tujuan akhir adalah pencapaian kemenangan dan puncak kekuasaan, tapi jika kalkulasinya lepas kandang itu meleset, maka jika karir politiknya haru berakhir adalah hal wajar yang harus dibayar.
Sebab, jika ukurannya adalah kekuasaan paling tidak seorang Ganjar sudah pernah meraih kemenangan sampai dua kali dalam Pilgub Jawa Tengah. Demikian pula, jika kesempatan sebelumnya telah menempatkannya sebagai Wakil Rakyat, PDI Perjuangan juga sudah pernah mengantarnya menjadi anggota DPR RI.
Ketimbang dalam Pilpres 2024 harus bertarung dalam situasi ”abu-abu” di kandang banteng, tentu akan lebih bisa menakar keberanian sendiri dalam pertarungan politik ”hitam putih.” Meskipun harus ”ucul” dari kandangnya tapi dengan satu catatan yang patut digarisbawahi atau pun sekalian dicatat bukan dengan tinta emas, melainkan dengan tinta merah, tentu akan ada juga partai lain yang akan mengkandangkannya.
Kendati partainya memang sudah tidak membutuhkan, atau jelasnya tidak memberikan peluang Ganjar untuk ”nyapres”, tapi belum tentu massa banteng tidak mendukungnya karena dalam momentum ini pemilih tentu tudak lagi memilih partai, tapi memilih orang. Jika akhirnya Ganjar gagal dalam pilpres, hal itu juga sudah risiko wajar darui keberanian yang harus dibayar.