SAMIN-NEWS.com, PATI – Sejumlah pemuda yang tergabung dalam komunitas Jelajah Pusaka Kajen mempunyai perhatian serius terhadap merawat dan melestarikan budaya di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Pati. Di desa yang terkenal dengan lingkungan pesantren ini dinilai banyak situs-situs dan benda bersejarah.
Penggagas Jelajah Pusaka Kajen, M. Zuli Rizal mengatakan di Desa Kajen cukup banyak benda sejarah yang selayaknya harus dijaga dan dirawat. Akan tetapi, menurutnya benda-benda itu mulai hilang. Dan, menurutnya sejarah tersebut hanya diceritakan saja dan makin kesini mulai hilang.
“Bahwa kita itu sebenarnya punya aset yang diwariskan oleh leluhur, khususnya Mbah Muttamakin. Tapi selama ini orang-orang mengira hanya keramat, jadi jangan didekati. Padahal itu bisa kita gali atau kita bisa belajar dari situ. Ada hikmah, ada cerita ada nilai yang perlu kita gali. Temen-temen langsung semangat. Akhirnya kita satu frekuensi,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, hal ini yang menjadi inspirasi sejumlah pemuda untuk menekuni di bidang kebudayaan guna nguri-nguri atau melestarikan. Zuli menyebutkan bahwa ia mengadopsi dan belajar dari sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh ‘Borobudur Heritage Forum’ tahun 2015 di Yogyakarta.
“Forum itu membuat acara di Kotagede bareng- bareng mengenal sejarah cagar budaya, biar anak-anak muda punya kiat untuk menjaga,” ceritanya.
Selain diskusi, membuat buletin dan buku, Jelajah Pusaka Kajen juga menyediakan Guide bagi wisatawan di Kajen untuk mengunjungi sejumlah situs di Kajen. Banyak instansi, pemerintah ataupun pihak yang berkunjung dan meminta mendampingi keliling di Kajen.
Zuli mengatakan, yang datang seperti Dinsos Jateng hingga Kemenag pusat. Kemudian, Duta Pariwisata Pati, sekolah hingga perguruan tinggi baik dari daerah maupun luar daerah.
“Dari kemenag butuh riset ke Kajen. Akhirnya kita antarkan, kita ajak sowan dan ajak keliling juga sampai pernah kita dipanggil presentasi di Bogor di depan profesornya,” jelasnya.
Zuli menambahkan mereka yang ke Kajen ingin melihat bagaimana agama dan budaya bisa bercampur. Budaya dan agama damai tidak ada keterasingan. “Tidak ada benturan itu dicontohkan di Kajen,” ungkapnya.