BEBERAPA waktu belakangan, seruan dan ajakan untuk berunjuk rasa terus bergema di berbagai lini masa media sosial.
Hal ini terjadi lantaran pemerinta dianggap begitu gagal menangani pandemi Covid-19 berikut dampak yang mengikutinya.
Berbagai kebjiakan yang dikeluarkan pemerintah seperti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pun dianggap hanya menyengsarakan rakyat saja.
Ajakan turun ke jalan dengan melakukan longmarch dari Kawasan Glodok ke Istana Merdeka, Jakarta adalah untuk mendesak Jokowi supaya turun dari jabatan presiden.
Tidak hanya di Jakarta, seruan demo ini juga menjalar ke kota-kota besar melalui pesan berantai. Tanpa ada struktur rantai komando, tidak ada hirarki dan tidak ada penggerak, mereka yang mengklaim sebagai aksi unjuk rasa yang bersifat cair.
Di masa lalu, kita sudah seringkali melihat peristiwa unjuk rasa. Meskipun begitu, seruan ini tentu berbeda dengan unjuk rasa biasanya yang dengan terang menyebut nama kampus, organisasi, maupun institusinya.
Seruan unjuk rasa yang diberi tajuk “Jokowi End Game” tersebut memang tidak jelas rimbanya. Sebab, berbagai pihak yang logonya dipasang pada leaflet di media sosial justru dengan lantang tidak mau disangkut-pautkan dengan ajakan demonstrasi tersebut.
Ajakan aksi demo yang tidak jelas asalnya tersebut tentu bukanlah hal bijak ketika kondisi pandemi sedang seperti ini.
Di saat kondisi rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang membludak karena tidak mampu menampung pasien, proses penguburan jenazah yang terhambat lama karena semakin banyaknya pasien Covid yang wafat, antrean pengisian tabung oksigen di mana-mana serta semakin terbatasnya akses mobilitas, maka keputusan untuk aksi turun ke jalan adalah sebuah langkah yang sangat bodoh.
Belum lagi, potensi terjadinya penularan karena kerumunan massa sama saja dengan menambah beban rumah sakit yang sudah over kapasitas.
Pandangan publik yang sebelumnya mungkin simpati dengan tuntutan aspirasi para pendemo, tentu akan berupah menjadi antipati jika terjadi pelanggaran aturan protokol kesehatan dan anarkis.
Tentu akan lebih berdampak strategis dan potensial menarik simpati luas jika aksi unjuk rasa turun ke jalan dialihkan kegiatan sosial dalam skala besar misal menjadi jaringan relawan membantu warga yang isolasi mandiri di rumah, menjadi relawan di Wisma Atlet dan shelter-shelter penampung penderita Covid, membantu dapur umum atau ikut meringankan beban penggali kuburan.
Oleh karenanya, meskipun pada berbagai kesempatan unjuk rasa terasa begitu heroik, tentu hal ini sangat berbeda dengan aksi bodoh nan dungu yang mereka namai “Jokowi End Game” tersebut.