Menelisik Sejarah Hari Jadi Pati (2); Ada Sebelum Majapahit (bersambung)

Di Desa Godo, Kecamatan Winong terdapat situs Kadipaten Paranggarudo tapi di Desa Sukoharjo, Kecamatan Wedarijaksa tidak terdapat situs Kadipaten Carangsoko selain bangunan rumah joglo model sekarang.

SAMIN-NEWS.com, PATI TIM Penyusun Sejarah Hari Jadi Pati, dalam memulai tugasnya menghimpun data-data maupun mencari narasumber sekitar Tahun 1994 itu telah menetapkan kesepakatan atas pilihannya. Yakni, berpegang pada cerita tutur yang selama ini sudah terpatri di masyarakat, karena dalam setiap kesempatan ada hiburan seni pertunjukan ketoprak kerap kali menjadi pilihan cerita yang ditampilkan.

Selain itu, tim pun menggunakan rujukan  cerita Babad Pati yang disusun oleh Sosrosumarto dan S Dibjosudiro , diterbitkan Deparemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Tahun 1980 dalam bentuk ”pupuh dandanggula” halaman 34 berkait surutnya kekuasaan Kerajaan Pajajaran.  Karena itu, mulailah tim penyusun merangkai nukilan dari cerita babat tersebut  menegaskan bahwa Pati adalah bagian dari Kerajaan Majapahit, dan bahkan sudah ada satu tahun sebelum kerajaan besar tersebut berdiri (1293).

Disebutkan, bahwa di Tahun 1292 atau menjelang berakhirnya abad-13 di kawasan pesisir utara Muria kala itu sudah ada atau berdiri dua kadipaten. Lokasinya yang di sisi selatan alur Bengawan Silugunggo adalah Kadipaten Paranggarudo dengan Adipatinya, Yudhopati dan di sisi utara bengawan yang sama, nama Kadipatennya Carangsoko dan Adipatinya Puspoandumjoyo.

Kedua Adipati itu, masing-masing mempunyai seorang anak di mana untuk Adipati Paranggarudo dengan seorang anak laki-laki bernama Menak Josari yang tampilannya sehari-hari sebagai pemuda blo’on. Sedangkan Adipati Carangsoko, mempunyai seorang putri cantik, namanya Dewi Rayungwulan, sehingga dalam cerita selanjutnya pun sudah bisa ditebak, dimana dua Adipati itu akan ”besanan”.

Menyikapi kondisi lelaki yang akan dipersandingkan dalam pernikahan dengannya seperti itu, maka Dewi Rayungwulan pun mengajukan syarat cukup berat, dan bahkan rasanya sulit bisa dipenuhi. Syarat atau permintaan maupun ”bebana” bersedia menikah dengan Josari, asal nanti saat dalam resepsi diselenggarakan hiburan pertunjukan wayang kulit, wayangnya harus bisa berjalan sendiri, dan pesindennya harus kembar saudara kandung dalang yang bersangkutan.

Untuk memenuhi tuntutan persayaratan itu, maka Adipati Paranggaruda yang mempunyai bawahan cukup andal seorang ”Penewu” (jabatan setingkat-Wedana) Kemaguan, Yuyurumpung harus mencari dan menemukan syarat di maksud. Singkat cerita dalam resepsi perkawinan itu yang tampil sebagai dalang adalah Ki Soponyono, asal Bakaran Wetan (Juwana) dan dua pesinden adik perempuannya, Ambarsekar dan Ambarsari.

Berawal dari peristiwa pernikahan kedua anak Adipati inilah, konon masih menurut cerita tutur, menjadi pangkal perselisihan dan peperangan antarkedua kadipaten tersebut.  Saat pertunjukan wayang tengah berlangsung, tiba-tiba ”blencong” (lampu) penerangan di tempat pentas dalang mendadak mati, dan ternyata Dewi Rayungwulan dan Ki Dalang Soponyono bersama kedua pesindennya sudah tidak ada di tempat.

Akibat dari peristiwa itu, perang antarkedua kadipaten pun tak bisa dihindari, di mana Kadipaten Paranggaruda mempunyai senopati andalan, Wedana Yuyurumpung dan Carangsoko juga mempunyai andalan Wedana Majasemi, Sukmayana. Wedana yang disebut-sebut sebagai pemilik pusaka ”piandel” berupa ”Khuluk Kanigoro” dan ”Keris Rambut Pinutung” ini juga mempunyai seorang adik laki-laki, Kembang Joyo (bersambung)

Previous post E-Koran Samin News Edisi 31 Juli 2021
Next post Kemarin Pemakaman Jenazah Standar Protokol Covid-19 Mengulang Rabu Lalu

Tinggalkan Balasan

Social profiles