AWAL munculnya tempat pelacuran ”Lorong Indah” (LI), di Desa/Kecamatan Margorejo, nama yang diberikan sampai sekarang memang itu. Yakni, lorong/jalan keluar masuk para pengunjung ke lokasi tersebut yang mempunyai jarak dari pinggir jalan raya Pati-Kuds tidak kurang dari 2.000 meter.
Akan tetapi kondisi jalan tersebut karena pada awalnya adalah jalan yang menjadi areal persawahan di sisi kiri kanannya, maka bila musim penghujan berlumpur karena memang tanpa ada upaya perkerasan oleh para petani yang tiap hari melintas di jalan tanah tersebut. Sebaliknya, jika musim kemarau jalan iti berdebu jika ada kendaraan pengunjung yang melintas.
Karena itu, sejak 1999 sampai sekarang jalan tersebut kondisinya tetap tak berbeda jauh meskipun akhirnya para pemilik usaha warung remang-remang di lokasi tersebut menghimpun iuaran untuk membeli grosok. Dengan material tersebut jalan yang bila hujan berlumpur itu secara periodik diuruk matererial atas usaha mereka sendiri.
Kala itu, para penyedia jasa ojek yang harus mengantar tamu maupun calon penghuni yang akan masuk ke tempat itu akhirnya pun ikut tergerak ikut mendukung perkerasan akses jalan tersebut. Sehingga panjang jalan yang mencapai 2.000 meter itu dibagi dua pengelolaannya, sebagian oleh para pemilik warung remang-remang yang jumlahnya kian lama kian bertambah, dan sebagian lainnya tanggung jawab oleh kelompok jasa pengojek.
Dari kondisi jalan yang bila hujan berlumpur dan bila kemarau berdebu sejak dulu, maka muncul selorohan sebutan ”Lorong Indah” yang sebenarnya memang jelas -jelas tidak indah. Kendati kondisinya demikian lorong yang tidak indah tersebut sepanjang hari, mulai pagi hingga siang dan tertama di malam hari banyak yang melintas seperti hendak menuju pasar malam.
Berdasarkan fakta dan realitas tersebut, maka jasa ojek akhirnya mempunyai alternatif untuk mengubah pos ojek dengan pos ”kepentingan,” agar bisa menambah pemasukan yang sudah barang tentu bebas dari tuntutan kepentingan pemeriksaan. Sebab, sifat jasa tersebut adalah ”susu tante.” Atau sebutan lain dari sumbangan sukarela tanpa tekanan.
Sebab, bagi pengunjung khususnya yang berkendara mobil hendak masuk ke lorong tidak indah tadi, harus merogoh koceknya sebagai pengganti jasa ojek. Jika sekarang nilai nominalnya sudah mencapai Rp 10.000 kalau ramai, tapi kalau pengunjung yang berkendara mobil tidak terlalu ramai Rp 5.000 pun diterima, asal ada uang masuk.
Jika dihitung-hitung sejak dulu hingga sekarang, atau ambil di atas era Tahun 2005 sampai sekarang maka banyak uang yang terkumpul tentunya. Karena tidak ada yang mengontrol, maka penggunaannya tentu saja suka-suka karena upaya melakukan perkerasan jalan juga dengan model suka-suka, dan dengan ditutupnya lorong tidak indah maka pos tersebut sekarang sudah tidak ada.
Bersyukurlah…..!!