Mengapa di Setiap Pasar Hewan Selalu Terjadi Transaksi ”Esek-esek”

TAMPAKNYA sebutan Margorejo sebagai tempat pelesiran dalam mencari hiburan dari dulu hingga sekarang keberadaannya memang seperti sudah menjadi merk, sehingga jika berlarut-larut dan berkepanjangan, hal itu terjadi ya karena merknya tadi. Yakni, merk yang tak pernah bisa lepas dari transaksi ”esek-esek.”

Hal itu terjadi barangkali, karena besar kemungkinan dalam mencari uang untuk keperluan transaksi tersebut di pasar hewan memang terlalu mudah, sehingga penyedia jasa ”esek-esek” itu pun berdatangan tanpa harus diundang. Sehingga tuntutan yang berkembang, lama-lama hal tersebut diikuti munculnya tempat pelacura seperti Lorong Indah (LI) dan juga yang lainnya.

Kondisi pasar hewan, sepertinya menjadi titik awal berlangsungnya transaksi tapi hanya di Margorejo yang berkembang pesat dibanding pasar hewan yang di Ngawi dan Bojonegoro, Jawa Timur (Jatim). Masuk ke Blora juga ada Pasar Pon, kemudian di Rembang Mempunyai Pasar Hewan Pamotan, Pati punya Pasar Wage, dan Kudus punya Pasar Kliwon.

Akan tetapi, dari semua itu yang selalu berkembang dari sisi merebaknya transaksi ”esek-esek” memang paling luar biasa. Sehingga, hal seperti itu dari dahulu juga pernah muncul di tengah-tengah menjelang berlangsungnya hari pasaran, atau saat hewan piaraan sapi maupun kerbau yang dibawa ke pasar itu harus menggunakan jasa tukang ”penggereg”, yaitu tukang pembawa hewan tersebut dari pasar satu menuju urutan hari pasaran berikutnya.

Dengan demikian, hal itu harus dilakukan dengan berjalan kaki sehingga sesampainya di pasar orang-orang tersebut sudah barang tentu dalam kondisi kelelahan. Selesai mandi pun mereka kembali bugar, tapi sudah ada perempuan penyedia jasa sebagai pemijat yang awalnya memang sebagai pemijat terapi selesai itu pun mereka menghilang di warung remang-remang yang buka pada malam hari pasaran.

Melihat perkembangan seperti itu, Pasar Wage yang sebelum dipindahkan dari lokasi lama yang sekarang menjadi  Plasa Pragola dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) Kabupaten Pati, dulunya juga sama saja. Setelah dipindah ke lokasi yang baru, semula praktik ”esek-esek” belum juga berhenti, maka ada pihak yang mengingatkan bahwa pasar itu merupakan tempat mencari rezeki bukan sebagai tempat maksiat.

Merasa tertohok dengan pernyataan keras tersebut, akhirnya transaksi dan eksekusinya pun bergeser ke luar tembok sisi kanan pasar hewan dengan menempati gubuk-gubuk di areal persawahan. Seiring berjalannya waktu, gubuk-gubuk mulai menghilang akhirnya di lokasi luar tembok pasar hewan tersebut pun muncul warung remang-remang.

Padahal jauh sebelumnya, dari ujung lorong di pinggir jalan raya Pati-Kudus sudah berdiri kompleks pelacuran yang dikenal dengan Lorong Indah (LI). Selebihnya muncul pula kompleks yang disebut Kampung Baru (KB) yang semula cikal bakalnya juga bermula dari deretan warung dengan tujuan untuk berjualan makanan di halam depan pasar hewan, tapi bergeser ke lokasi KB yang tak lebih dari 300 meter hingga sekarang.

Karena itu, Desa/Kecamatan Margorejo dalam sejarah maraknya tempat peleserian dari  ”esek-esek” yang kelas pasar hewan, kelas gubuk, hingga kelas KB dan LI, seperti rasanya belum cukup karena masih ada tersedia cafe dan karaoke. Sedangkan, sejarah hijrahnya tempat pelacurang ke LI sebelumnya adalah merupakan tempat yang sama berlokasi, di Blethek, Desa Dadirejo juga di Kecamatan Margorejo.

Jika dengan gambaran tersebut, dirasakan masih kurang mau ditambah apa lagi. Tapi ingat, bahwa pusat-pusat tempat pelesiran tersebut, sekarang sudah ditutup. Sekali lagi, ditutup!!

Previous post Warga Gembong Dukung Dibukanya Jalan Tembus Sokobubuk-Kaliampo
Next post Sepekan Pelaksanaan PTM Terbatas di SMA Negeri 1 Pati

Tinggalkan Balasan

Social profiles