GSMS SD Pagendisan Mbesut Cerita Legenda Ajisaka

Dua seniman dari kesenian ketoprak (Jaswadi) dan dalang wayang kulit (Sudadi), asal Winong dalam Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) bergabung melatih ketoprak dan penabuh gamelan anak-anak SD Pagendisan, Kecamatan Winong.(Foto:SN/aed)

SAMIN-NEWS.com, DUA seniman dari panggung ketoprak asal Winong, Jaswadi dan dalang wayang kulit (Sudadi), sudah beberapa lama ini masuk dalam daftar Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) Dinas Pendidik dan Kebudayaan Kabupaten Pati. Keduanya, saat ini saling bahu membahu menggembleng anak-anak SD Pagendisan, Kecamatan Winong yang semua pada awalnya tidak pernah terbayang harus berlatih dan bermain ketoprak.

Karena kondisi tersebut, papar Kepala SD yang bersangkutan, Syahlan, pihaknya menerima tawaran dari Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pati, masuknya program GSMS ke sekolahnya. Pertimbangannya, dengan anak-anak melatih diri dalam berkesenian khususnya seni pertunjukan ketoprak, paling tidak mereka sedikit demi sedikit mulai tersentuh pemahamannya bahwa kesenian tersebut, adalah menjadi bagian dari budaya para leluhurnya.

Dengan bermain ketoprak, sebagaimana banyak yang diharapkan bahwa hal itu akan menjadi bagian dari proses anak-anak untuk memahami sendiri, tapi juga bisa memainkan sosok tokoh yang harus diperankan. Selebihnya, mereka juga akan mulai mengenal ”unggah-ungguh” bahwa dalam tontonan ketoprak itu, banyak adegan yang dalam dialognya antara pemain satu dan lainnya harus berbahasa.

Paling tidak dengan membaca naskah, mereka sudah mengenal sedikit bahasa Jawa atau bahasa ibunya, sehingga jika mereka itu sering berlatih, maka perbendaharaan kalimat dalam bahasa ibunya itu akan bertambah. ”Karena itu, agar program GSMS tersebut berkelanjutan dan SD Pagendisan kembali mendapat alokasi gerakan itu, sehingga muridnya yang lain ada kesempatan untuk belajar di dalamnya,”ujarnya.

Dengan berlatih ketoprak program GSMS paling tidak anak-anak juga tersentuh sedikit dasar bela diri untuk laga dan diajari pula tarian untuk adegan Tamansari.(Foto:SN/aed)

Dalam kesempatan tersebut, Sudadi memaparkan bahwa yang digarap ini adalah anak-anak yang baru kali pertama tersentuh program berkesenian, maka yang dibutuhkan adalah tingginya rasa kesabaran. Sehingga untuk membagi peran dalam cerita yang dibesut, yaitu tentang legenda Ajisaka harus mengalami bongkar-pasang beberapa kali baru didapatkan karakter peran meskipun masih minimal.

Mengingat kondisi tersebut pihaknya menyadari, bahwa dari satu sisi menuntut terlalu banyak akan kemampuan pada setiap anak memang harus melalui proses yang harus berkelanjutan. Akan tetapi, paling tidak anak-anak sudah memahami alur cerita setelah membaca dan menghafal naskah, maka tindak lanjut atau proses berikutnya adalah mendialogkan antara pemain dalam satu atau  beberapa adegan yang diperankan.

Berkait cerita legenda Ajisaka sendiri tentu sudah banyak dipahami, bahwa pada masa itulah lahirnya huruf atau aksara Jawa yang berjumlah 20 dengan diawali huruf (Ha) dan dan diakhiri dengan huruf (Nga). Hal itu berasal dari kisah legenda seorang pemuda tampan dan sakti yang berasal dari Majethi bernama Ajisaka dengan dua pengikut setia yang juga sakti Dora dan Sembada.

Pada suatu waktu Ajisaka mengajak pengikutnya Dora untuk berkelana meninggalkan Majethi, tapi Sembada ditinggalkan dan mendapat tugas untuk menjaga pusaka. Pesan Ajisaka, pusaka tersebut jangan sampai jatuh atau diberikan kepada orang lain kecuali kepadanya sendiri, dan berangkatlah mereka sampai akhirnya tiba di Tanah Jawa, tepatnya di Kerajaan Medhang Kamulan.

Di kerajaan ini, Ajisaka mendapat cerita dari rakyat bahwa Raja Medahang Kamulan Prabu Dewata Cengkar ini, setiap hari senangnya memakan daging manusia. Karena itu, Ajisaka menyatakan siap untuk dimakan, tapi sebelum itu pemuda tersebut mengajukan syarat agar diberi tanah selebar ikat kepalannya.

Akan tetapi begitu tanah tersebut diukur dengan ikat kepalanya, maka tanah itu semakin bertambah lebar, dan akhirnya mendesak Prabu Dewata Cengkar sampai tercebur ke Laut Selatan, dan meninggal. Ajisaka akhirnya oleh rakyat diangkat sebagai Raja di Medhang Kamulan, karena tidak ada lagi raja yang senang memakan daging dari tubuh rakyatnya.

Setelah Ajisaka menjadi raja, maka Dora pun diutus kembali ke Pulau Majethi untuk mengambil pusakanya, tapi hal itu tidak diperbolehkan oleh Sembada, karena pesan Ajisaka pusaka tersebut harus diserahkan langsung bukan lewat orang lain. Terjadilah peperangan hebat antara keduanya yang sama-sama saktinya, sampai mereka pun mati bersama-sama.

Kematian dua pengikutnya pun sampai didengar oleh Ajisaka, dan untuk mengenang kedua arwah pengikutnya itu, maka ditulislah huruf yang masih dikenal hingga sekarang, yaitu huruf Jawa, Ha, Na, Ca, Ra, Ka, dan seterusnya. ”Akan tetapi, huruf Jawa tersebut akhirnya saat ini pun tinggal kenangan karena oleh kita sebagai orang Jawa juga sudah lama meninggalkan,”imbuh Sudadi.

Previous post E-Koran Samin News Edisi 28 September 2021
Next post Hasil Swab Reaktif; PTM di Salah Sebuah SMP Negeri di Pati Terpaksa Dihentikan

Tinggalkan Balasan

Social profiles