SAMIN-NEWS.com, BESARNYA rasa ingin tahu untuk bisa melihat putra-putrinya bermain ketoprak program Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) SDN 02 Payang, Kecamatan Pati, para orang tua murid ini, Senin (1/November) malam (semalam) rela berdiri lebih dari satu jam di balik jendela kaca tertutup. Sebab, jadwal tampilnya putra-putri mereka ini jatuh pada malam hari mulai pukul 20.15 s/d 22.15 atau selama dua jam, di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Pati.
Mereka berdatangan dengan berkendara rombongan maupun kendaraan pribadi, karena jarak Payang dengan lokasi bermainnya ketoprak putra-putri mereka hanyalah sekitar 3,5 kilometer. Mengingat masih dalam masa pandemi Covid-19, maka yang boleh berada di dalam gedung pertunjukan tersebut selain pemain dan panitia, memang dibatasi maksimal hanya 25 orang yng tak lain adalah para guru dan komite sekolah yang bersangkutan.
Akan tetapi, demi bisa melihat langsung bagaimana putra-putri mereka memainkan seni pertunjukan kesenian tersebut, serta bagaimana anak-anak itu menabuh gamelan yang mengiringinya, maka para orang tua murid ini bisa melihat dari balik kaca jendela pun tak mengapa. Bahkan ada seorang bapak muda yang harus mengajak balita-nya, agar bisa melihat apa yang berlangsung di panggung dalam gedung tertutup itu harus memanggulnya.
Dalam kesempatan tampilannya di hari kelima pertunjukan GSMS SDN 02 Payang ini membesut lakon ”Adege Menara Kudus,” yang bercerita tentang sisa-sisa laskar Majapahit yang tetap ingin mengembalikan kejayaannya. Padahal kerajaan besar tersebut sudah runtuh dan disusul berdirinya Kerajaan Islam, Demak Bintoro sehingga dalam lakon itu pun diam-diam muncul kecuriagaan di antara wali, baik Sunan Bonang bersama Sunan Kudus terhadap Sunan Kalijaga.
Di tengah konflik tersebut, Sunan Kudus yang ditunjuk sebagai senopati perang untuk menaklukkan Ki Terjan, ternyata jatuh cinta dengan neneknya yang diboyong dari Majapahit, Eyang Dwarawati. Akan tetapi bersedia diperistri asal bisa memenuhi syaratnya, yaitu dibuatkan ”cakrik” atau juga candi sebagai tempat pemujaan yang sudah barang tentu Sunan Kudus menyanggupi tuntutan tersebut.
Dengan kekalahan Ki Terjan menghadapi Sunan Kudus, maka tempat pemujaan yang didirikan para laskar Majapahit menjadi pampasan diambil oleh Sunan Kudus, kemudian dilanjutkan pembangunannya menjadi berbentuk menara. Sedangkan upaya meng-Islam-kan Ki Terjan tetap dilakukan dengan cara Sunan Kalijaga yang memang tanpa paksaan dan juga tanpa kekerasan.
Kekalahan Ki Terjan oleh Sunan Kudus, tentu meminta bantuan Sunan Kalijaga sehingga oleh wali yang satu ini diberikan pinjaman pusaka miliknya paling ampuh, yaitu ”kutang gondel ontokusumo.” Dengan pusaka pinjaman itu Sunan Kudus berhasil dikalahkan, maka oleh Sunan Kalijaga pusaka pun diminta kembali, karena konflik antara Ki Terjan dengan Demak Bintoro maupun dengan Sunan Kudus dan Sunan Bonang dianggap sudah selesai.
Sebagai gantinya, Sunan Kalijaga memberi Ki Terjan pusaka paling ampuh yang cukup dengan pengucapan/lafal, yaitu ”dua kalimah sahadat.” Dengan mengucap dua kalimah sahadat tersebut, maka tanpa harus menggunakan kekerasan Sunan Kalijaga berhasil meng-Islam-kan sisa-sisa laskar Majapahit, Ki Terjan.
Itulah pesan moral dalam cerita yang dimainkan oleh anak-anak SDN 02 Payang.